Kamis, 07 Juni 2012

Bhagavata

                                   Bab 01 - Bhagavata



Sebutan Bhagavata dapat digunakan untuk setiap kisah pengalaman orang-orang yang telah menjalin hubungan dengan Tuhan dan dengan mereka yang saleh (Bhagawan dan bakta). Tuhan mengambil berbagai wujud dan memerankan berbagai kegiatan. Nama Bhagavata diberikan pada uraian pengalaman orang-orang yang telah menyadari Tuhan dalam aneka wujud tersebut dan juga pada kisah pengalaman mereka yang telah memperoleh karunia Beliau serta terpilih menjadi alat Beliau.

Karya agung yang terkenal ini (Bhagavata) dihormati oleh para ahli Weda. Kitab ini merupakan obat mujarab yang menyembuhkan berbagai penyakit fisik, mental, dan spiritual. Bhagavata sarat dengan kemanisan nektar dan bersinar dengan kecrmelangan serta keindahan Tuhan.

Prinsip Avatar atau turunnya Tuhan ke dunia, mengejawantahnya yang tidak berwujud dan mengambil wujud untuk menolong meningkatkan kesadaran moral serta spiritual semua makhluk; inilah fakta utama yang membuat Bhagavata benar dan dapat dipercaya. Bhagavata juga berarti orang-orang yang memiliki keterikatan kepada Tuhan, mereka yang mencari persahabatan dengan Tuhan. Kitab Bhagavata sangat berharga bagi orang-orang semacam itu, bak napas hidup mereka. Berada diantara Bhagavata itu akan membantu mengembangkan bakti kita. Jika engkau tidak gemar mengarahkan pikiran kepada Tuhan, engkau tidak akan memperoleh kebahagiaan dari hal itu. Untuk menimbulkan kegemaran itu, Bhagavata menceritakan aneka kisah mengejawantahan Tuhan kepada mereka yang benar-benar ingin mengetahuinya. Kemudian akan timbulah kerinduan untuk menghayati getaran Tuhan melalui segala tingkat kesadaran. Orang yang memiliki kerinduan mendalam ini dapat menjadi Bhagavata sejati.

Banyak yang mengira bahwa pengejawantahan Tuhan hanya berlangsung untuk dua tujuan yaitu : menghukum yang jahat dan melindungi yang baik. Tetapi ini hanya menggambarkan salah satu aspek tugas Beliau. Menganugerahkan kedamaian, kebahagiaan, dan rasa pemenuhan kepada para pencari kebenaran yang telah lama berjuang (melakukan usaha kerohanian), inipun merupakan tugas Beliau.

Avatar atau “pengejawantahan Tuhan” hanyalah perwujudan para pendamba kesunyataan. Beliau adalah perwujudan keindahan dan kemanisan bakti para sadhaka yang saleh. Tuhan yang tidak berwujud mengambil wujud demi para sadhaka dan pencari kesunyataan ini.



Merekalah penyebab utama (sehingga Tuhan mengejawantah). Induk sapi mengeluarkan susu untuk memberi minum anaknya. Anak sapilah penerima utama. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, lainnya juga banyak yang mendapat manfaat dari susu itu. Demikian juga, walaupun para bakta adalah penyebab utama, dan kegembiraan serta pemeliharaan mereka adalah tujuan utama, manfaat sampingan lainnya akan timbul pula, seperti misalnya dikembangkannya darma, ditindasnya kejahatan, dan dibinasakannya mereka yang jahat.

Tidak ada peraturan yang mengharuskan bahwa pengejawantahan Tuhan hanya dapat terjadi di Bumi dan dalam wujud manusia. Tempat yang mana saja dan wujud apa saja dapat dipilih oleh Beliau yang bebas sepenuhnya. Dimanapun tempatnya dan apapun wujudnya (asalkan) membantu tujuan Tuhan untuk memenuhi kerinduan para bakta, tempat dan wujud itu akan Beliau pilih. Tuhan mengatasi dan melampaui batasan ruang serta waktu. Beliau melampaui segala gambaran dan sifat; tidak ada daftar rincian hal semacam ini yang dapat melukiskan Tuhan sepenuhnya. Segala makhluk sama bagi Tuhan. Perbedaan antara manusia, margasatwa, burung, cacing, serangga, dan bahkan dewata,
hanya terletak pada perbedaan wadahnya.

Hal ini dapat diibaratkan dengan arus listrik yang mengalir melalui berbagai perkakas dan menyatakan diri dalam berbagai kegiatan yang berbeda. Arus listrik itu sama, tidak ada perbedaannya. Menyatakan bahwa arus itu berbeda-beda hanya akan memperlihatkan kebodohan orang tersebut (ajnana). Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa menggiatkan setiap wadah atau upaadii dan menumbulkan akibat yang beraneka ragam. Orang bijak hanya akan melihat arus yang satu dan sama; orang bodoh beranggapan bahwa mereka semua berbeda-beda. Tuhan menghargai (jika) kesadaran kesatuan ini dijadikan motif utama kegiatan manusia.Beliau tidak menghargai bila kegiatan itu hanya satu, tanpa ragam; kegiatan itu harus disesuaikan dengan berbagai kebutuhan. Buah karya atau kegiatan hanya akan menarik bagi orang-orang yang menyamakan diri dengan badan dan tidak bagi mereka yang mengerti bahwa mereka adalah atma yang tidak dapat binasa.

Engkau juga harus mengetahui bahwa pengejawantahan yang dilakukan Tuhan tidak ada akhirnya. Beliau telah datang pada berbagai kesempatan yang tidak terbilang lagi. Kadang-kadang Beliau datang dengan sebagian kemuliaan Beliau, kadang-kadang dengan kemuliaan yang lebih lengkap, kadang-kadang untuk suatu tugas tertentu, kadang-kadang untuk mengubah seluruh jaman, atau seluruh benua.

Kisah yang terakhir inlah yang dipaparkan dalam Bhagavata. Drama yang dimainkan oleh sang Avatar dan para bakta yang tertarik kepada Beliau merupakan inti kisah Bhagavata. Mendengar cerita itu akan membantu mempercepat tercapainya kesadaran Tuhan. Banyak tokoh yang arif bijaksana mengakui keampuhan Bhagavata, menyanjungnya-nyanjungnya, dan membantu melestarikannya bagi anak cucu mereka.

Biasanya manusia tertarik pada objek-objek indera karena ia merupakan korban nalurinya sendiri. Naluri ini muncul bersama tubuh dan tidak diperoleh dari latihan. Bayi mencari susu dari payudara ibunya, anak sapi yang baru lahir mengisapambing induknya. Hal ini tidak perlu dilatih. Tetapi agar bayi dan berjalan dan berbicara, diperlukan latihan. Sebabnya yaitu : kegiatan tersebut tidak otomatis, kemampuan itu diperoleh karena dorongan sosial, dengan contoh dan dengan meniru orang lain.

Bahkan untuk mencari kesenangan indera secara pantas diperlukan latihan karena usaha mencari kenikmatan secara liar dan membabi buta akan menyebabkan berkembangnya kemarahan, kebencian, kedengkian, dendam dan kesombongan. Untuk melatih agar kecenderungan mencari kenikmatan itu mengikuti alur yang bermanfaat dan untuk mengendalikannya, diperlukan beberapa disiplin yang baik seperti japa, meditasi, puasa, sandhyavandana ‘doa pada waktu subuh dan maghrib’, dan sebagainya. Tetapi, walaupun nilai disiplin ini dipuji-puji setinggi langit dan pengamalannya amat dianjurkan, kebanyakan orang tidak berminat melakukannya. Hal ini karena keinginan untuk menikmati kesenangan indera telah berurat akar dalam hati manusia. Bila seseorang diminta agar melakukan kegiatan spiritual yang bermanfaat, ia sama sekali tidak memiliki dorongan batin. Meskipun demikian, jangan menyerah dan berputus asa. Disiplin spiritual ini harus diikuti secara ketat hingga timbul kegemaran (untuk melakukannya). Minat atau kegemaran ini tumbuh karena latihan; tidak ada yang memilikinya sejak awal. Pengalaman yang terus menerus akan menimbulkan semangat.

Bayi tidak mengetahui rasa susu. Setelah meminumnya tiap hari, ia lalu amat menyukainya sehingga ketika susu harus dihentikan dan diganti dengan nasi, si bayi mulai protes. Tetapi ibunya tidak berputus asa; ia membujuk si anak agar mau makan nasi sedikit-sedikit setiap hari. Dengan proses ini anak mulai menyukai nasi dan berhenti minum susu. Pada mulanya susu adalah makanan yang wajar baginya; dengan latihan, nasi menjadi makanan yang lazim, sedemikian terbiasanya sehingga bila sehari saja tidak makan nasi, ia lalu menderita.

Demikian pula walau kecenderungan mencari kesenangan indera itu pada mulanya wajar, dengan pengalaman, latihan, dan dengan mendengarkan petuah kaum bijak, perlahan-lahan manusia akan memperoleh kesenangan yang lebih besar dan lebih langgeng, yaitu dari kemuliaan Tuhan dan perenungannya. Setelah itu ia tidak akan dapat hidup semenit pun tanpa suasana tersebut. Ia merasa bahwa tiada apapun juga yang lebih indah daripada pengalaman mendengarkan kemuliaan Tuhan. Pergaulan dengan teman-teman duniawi yang suka mengobrol tentang kesenangan indera dan obyek-obyek indera tidak lagi menarik hatinya. Persahabatan dengan teman-teman yang gembira bila membicarakan dan memuji Tuhan akan menarik dan menambat hatinya.

Ini benar-benar merupakan tanda orang-orang yang baik. Sadhaka atau abdi Tuhan dinilai dari hal ini, bukannya dari pakaian atau penampilannya. Bila seseorang bergaul dengan orang-orang yang suka membicarakan kesenangan indera dan gemar mengumbarnya, maka ia melakukan perbuatan yang tercela. Lewatkan waktumu dalam pergaulan dengan orang-orang yang saleh, sibukkan dirimu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bajik. Hindari pergaulan dengan orang-orang yang tidak beriman. Jangan memperhatikan atau membicarakan kegiatan mreka dan jangan mendengarkan cerita mereka. Hanya orang-orang yang menghindari mereka dapat disebut Bhagavata atau milik Tuhan.

Membaca dan menikmati kisah kemuliaan Krishna di suatu tempat suci, tempat ibadat, di altar ruang doa, di pertapaan seorang suci atau orang bijaksana, atau di antara orang-orang yang bajik dan baik, akan merupakan sumber inspirasi dan kegembiraan yang besar. Hal ini akan membuat orang lupa pada segala hal lainnya. Selain itu, sadhaka dapat mendekati orang-orang yang saleh, melayani mereka, dan mendengarkan uraian mereka tentang kemuliaan Tuhan. Kegemaran membaca buku-buku santapan rohani yang bermanfaat semacam itu merupakan kumpulan perbuatan, sifat, dan usaha yang baik (pada kehidupan-kehidupan yang telah lalu). Jasa dan pahala itulah yang mengganjar seseorang dengan teman-teman saleh tersebut. Pada mulanya mendengarkan saja sudah cukup; kemudian kisah itu akan membangkitkan minat pada sifat serta menemukan sendiri jalan menuju kesadaran diri sejati.

Mendengarkan uraian orang yang bijaksana jauh lebih baik daripada membacanya sendiri, atau sadhaka dapat mendengarkan uraian tentang Bhagavata sambil menyimank kitabnya. Lebih baik mendengarkan bersama teman-teman daripada hanya sendirian; tentu saja baik sekali bila dapat mendengarkan bersama sejumlah sadhaka yang serius. Bila orang yang menjelaskannya telah mengalami getaran penghayatan sejati, maka itu merupakan kemujuran yang amat besar karena akan memberikan hasil yang terbaik. Begitu merenungkan kemuliaan Tuhan, wajahnya kan berseri penuh kegembiraan dan ia akan menitikkan air mata kebahagiaan. Para pendengarnya akan memperoleh inspirasi, mereka akan ikut mengalami kegembiraan itu. Mereka akan memasuki kelompok orang yang menangis akan ikut menitikkan air mata. Bila seorang bayi tersenyum, orang-orang di sekelilingnya juga akan tersenyum semuanya. Bemikian pula perkataan orang-orang yang penuh bakti kepada Tuhan juga akan memenuhi hati pendengarnya. Tidak mungkinlah mengukur manfaat yang dapat diperoleh seseorang bila berada bersama dengan mahatma ‘jiwa besar’.

Dengan mendengarkan kisah kebesaran Tuhan ini, hati yang penuh kotoran akan berubah menjadi hti yang bersih, suci dan cemerlang, memancarkan cahaya yang sejati. Hasrat dan minat untuk mendengarkan kemuliaan Tuhan merupakan penyuci hama bagi bau busuk kesenangan pada kenikmatan sensual, selain kegemaran tersebut penuh dengan keharuman yang semerbak. Mendengarkan kemuliaan Tuhan akan membersihkan hati karena hal itu menimbulkan dorongan untuk berbuat baik. Hati yang bersih paling sesuai sebagai altar atau tabernakel. Tuhan akan menetap di tempat yang harum itu. Pada saat itu akan terjadi peristiwa lain, kelompok enam sifat buruk (nafsu kama, kedengkian, keserakahan, kelekatan, kesombongan, dan kedengkian) yang berkerumun di situ akan lari meninggalkannya tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.

Bila keenam sifat buruk ini pergi, pengiringnya yang keji, yaitu berbagai kecenderungan jahat, sikap kasar dan tidak senonoh yang mengggantungkan hidupnya pada mereka akan bubar dan menghilang tanpa meninggalkan alamat! Kemudian manusia akan memancarkan kecemerlangan kebenaran dan kasih yang merupakan sifat pembawaannya. Ia akan berusaha menyadari dirinya yang sejati tanpa hambatan lagi dan akhirnya akan berhasil manunggal dengan yang universal dan kekal. Ia akan membebaskan dirinya sendiri dari jerat kebodohan atau maya. Gerak pikirannya akan lenyap; rahasia yang selama ini tersebunyi akan terungkap baginya, ia akan menemukan sifat kesuciannya.

Sifat manusia adalah prema “kasih”. Tanpa kasih ia tidak dapat hidup sedetikpun. Kasih merupakan napas hidupnya. Bila keenam sifat buruk yang sudah melekat demikian lama lenyap, hanya kasihlah yang menghuni hatinya, tetapi kasih harus menemukan obyek, seseorang yang dikasihi. Kasih tidak dapat sendirian, maka ia diarahkan kepada bocah pengejawantahan Tuhan yang berwarna biru tua (Sri Krishna), bocah penggembala sapi yang menawan hati yang meruapkan pengejawantahan kemurnian, perwujudan pelayanan, pengorbanan, dan sifat tanpa pamrih, yang mengambil altar hati yang telah bersih itu sebagai tempat tinggal-Nya. Kini keterikatan lainnya tidak mempunyai peluang lagi untuk tumbuh. Dengan demikian selangkah demi selangkah kasih kepadaTuhan menjadi semakin dalam, makin murni, makin penuh pengorbanan hingga akhirnya gerak pikiran tidak diperlukan lagi dan individu manunggal dalam kesemestaan.

Bila Waasudewa ‘Krishna’ memasuki hati manusia, wasudewa ‘dewa kekayaan’ tidak mempunyai tempat lagi di dalamnya. Dengan kata lain, bila dewa wasu atau ‘kekayaan’ bertakhta dalam hati, Waasudewa ‘Sri Krishna’ (Tuhan) tidak dapat tinggal di dalamnya.

Usaha apapun untuk menempatkan keduanya di dalam hati pasti akan gagal. Gelap dan terang tidak dapat berada pada waktu yang sama di tempat yang sama, mereka tidak dapat berjalan seiring. Dhanam ‘harta’ dan Daiwam ‘Tuhan’ tidak dapat dijadikan idaman gabungan. Bila manusia mencari dhanam ‘kekayaan’, ia tidak akan dapat mencapai Daiwam ‘Tuhan’. Jika manusia mencari keduanya, yang akan didapat bukanlah dhanam ataupun Daiwam melainkan dayyam ‘hantu’.

Bila manusia bertingkah laku sebagai manusia, hal itu baik, jika ia bertingkah laku sebagai Maadhava ‘Tuhan’ yang merupakan kenyataannya yang sesungguhnya, hal itu terpuji. Tetapi, jika manusia bertingkah laku seperti binatang, hal itu benar-benar tercela. Sudah lama sekali manusia lahir sebagai mineral dan mati sebagai mineral, kemudian ia meningkatkan dirinya menjadi pohon. Lama sekali ia lahir sebagai pohon dan mati sebagai pohon, tetapi dalam proses itu ia mengalami kemajuan dan menjadi binatang. Kini ia sudah meningkat ke status manusia. Peningkatan dari satu jenjang ke jenjang yang lain, telah diakui oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman spiritual. Kini sayang sekali ia lahir sebagai manusia dan mati sebagai manusia. Sungguh memalukan bila ia merosot ke taraf binatang buas atau raksasa yang biadab. Manusia hanya layak dipuji jika ia meningkat ke status ketuhanan. Ini merupakan kesempurnaan takdirnya yang sejati.

Karena itu, hindarilah kontak dengan sifat-sifat buruk; kembangkan ikatan pada kebajikan, ubahlah hatimu menjadi altar bagi Tuhan, binasakan segala tunas dan kecambah keinginan serta hawa nafsu, kemudian danau kesadaran batinmu akan dimurnikan dan diluhurkan menjadi Kshiira-sagara (dalam mitologi adalah lautan susu yang murni tempat Tuhan berbaringdi peraduan Beliau, di atas gulungan ular Ananta ‘keabadiaan’). Ibarat angsa surgawi, dirimu yang sejati akan bersuka ria dalam air danau yang tenang dan telah disucikan itu. Ia akan memperoleh kebahagiaan yang tiada akhirnya.

Siapa yang dapat menandai awal ombak yang terus menerus bergelora di lautan? Ini adalah tugas yang tidak masuk akal. Jika ada orang yang berniat melakukannya, ombak yang mulai dihitungnya akan dianggap sebagai awal, dan ombak ketika ia menghentikan perhitungannya akan merupakan ombak terakhir baginya. Ada awal dan akhir bagi perhitungannya, tetapi tiada awal dan akhir bagi proses gelora ombak itu. Juga tidak akan ada yang dapat melihatnya dalam bentangan samudera yang tidak terbatas. Kebesaran dan kemuliaan Tuhan dapat diibaratkan dengan lautan yang tiada bertepi. Bila seseorang mulai melukiskannya, hal itu merupakan awal baginya; bila ia menyelesaikan uraiannya, itu merupakan akhir sejauh berhubungan dengannya, tetapi kebesaran dan kemuliaan Tuhan melampaui batasan ruang dan waktu. Hanya pikiran yang picik dan terbatas akan mendebat bahwa kebesaran serta kemuliaan Tuhan ada awal dan akhirnya. Panggung tempat Beliau bermain tiada batasnya.

Riwayat permainan Beliau semuanya tidak mempunyai unsur, rasa, atau isi lain, kecuali semanis nektar. Setiap orang dapat mereguk lautan nektar itu sepuas hatinya, dari bagian yang mana saja. Rasa manisnya sama di mana-mana, dalam setiap partikel. Tiada apa pun yang rendah yang dapat merusak rasa manis itu.

Kasih Tuhan dan kasih bagi Tuhan keduanya indah dan murni sepanjang masa, apa pun juga cara yang kau gunakan untuk menerima atau mencapainya. Kasih semacam itu suci dan menimbulkan inspirasi. Gula manis rasanya baik dimakan pada siang hari maupun pada malam hari karena siang atau malam hanya ada bagi orang yang memakannya, bukannya bagi gula. Gula selalu bersifat sama.

Bersambung ke Bab 2



sumber ::http://www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar