Kamis, 07 Juni 2012

Nasihat Widura

                                Bab 07 - Nasihat Widura



Widura melanjutkan peringatannya kepada Dhritarashtra, “kakanda telah mencapai usia selanjut ini, tetapi tetap saja kakanda menempuh hidup seperti anjing tanpa merasa malu atau ragu. Mungkin Kakanda tidak merasa malu mengenai hal itu, tetapi saya malu. Cih, tidak tahu malu! Cara kanda melewatkan hari-hari Kanda lebih jelek daripada burung gagak.”

Dhritarashtra tidak dapat menahannya lagi. Ia berseru, “Oh, cukup, cukup. Berhentilah. Adinda menyiksa saya sampai mati. Ini bukanlah kata-kata yang layak dikemukakan di antara saudara sendiri. Mendengar ucapan Adinda, saya merasa Adinda bukan Widura adik saya. Ia tidak akan menegur saya demikian kejam. Sekarang saya tinggal dengan Dharmaraja, apakah ia orang yang tidak dikenal? Apakah saya berlindung pada orang asing? Apa yang Adinda katakan ini? Mengapa begitu kasar? Dharmaraja merawat saya dengan kasih sayang dan perhatian besar, bagaimana Adinda dapat menyatakan saya menempuh hidup seperti seekor anjing atau gagak? Berdosalah bila Adinda memiliki gagasan semacam itu. Memang nasib saya begini, itu saja.” Dhritarashta menunduk dan mengeluh.

Widura tertawa dan mengejek. Katanya, “Tidak malukah Kakanda berbicara seperti itu? Mungkin karena kebaikan hatinya Dharmaraja merawat dan memperhatikan Kakanda lebih daripada ayahnya sendiri. Mungkin ia memelihara dan mengurus Kakanda dengan kasih yang lebih besar daripada anak-anak Kakanda sendiri. Ini hanya cerminan keluhuran budinya. Itu hanyalah penjelasan dan penjabaran arti nama yang disandangnya. Tetapi, apakah Kakanda tidak merencanakan masa depan Kakanda sendiri? Satu kaki Kakanda sudah berada di liang kubur, tetapi Kakanda tetap membabi buta mengisi perut Kakanda dengan segala kelezatan dan bergelimang dalam kemewahan. Renungkan sejenak bagaimana Kakanda menyiksa Dharmaraja dan adik-adiknya untuk menuruti maksud jahat anak-anak Kakanda yang keji dan busuk, bagaimana Kakanda merencanakan tipu muslihat untuk menghabisi mereka. Kakanda tempatkan mereka dalam rumah lilin lalu kakanda bakar bangunan itu, Kakanda mencoba meracuni mereka. Kakanda menghina permaisuri mereka secara amat memalukan di depan sidang yang besar. Kakanda dan anak-anak Kanda yang busuk dan menjijikkan menimpakan kesengsaraan demi kesengsaraan pada para putra Pnadu, adik Kakanda sendiri. Buta, tua renta, dan tebal muka, Kakanda duduk di singgasana sambil terus menerus bertanya pada orang-orang di samping Kanda, “Apa yang terjadi sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Bagaimana Kakanda dapat tinggal di tempat ini menikmati kebaikan hati Dharmaraja sambil mengingat lagi berbagai kejahatan yang telah Kanda lakukan untuk membinasakannya? Ketika Kakanda merencanakan untuk menghabisi mereka, apakah mereka berhenti menjadi kemenakan Kanda? Atau apakah hubungan kemenakan ini baru timbul sekarang, ketika Kakanda datang untuk ikut tinggal bersama mereka? Tanpa merasa malu sedikitpun, bahkan dengan bangga Kakanda mengatakan kepada saya bahwa mereka memperlakukan Kakanda dengan baik.”



“Mengapa berbicara begitu banyak? Bukankah permainan dadu yang membawa bencana itu berlangsung atas prakarsa Kakanda? Kanda mengingkarinya? Tidak, saya menyaksikan sendiri permainan itu. Pada waktu itu saya menasihati Kakanda agar tidak melangsungkannya, apakah Kanda perhatikan? Pada waktu itu dimanakah kasih dan simpati yang kini Kanda limpahkan? Kini seperti anjing Kakanda menelan makanan yang diletakkan Pandawa di hadapan Kakanda dan menempuh hidup yang hina ini.”

Mendengar perkataan Widura yang menyakitkan bagaikan pukulan palu, Dhritarashtra mulai tidak menyukai cara hidupnya. Widura bermaksud mendorongnya agar ia menyepi dan menempuh kehidupan sadhana. Ia berharap dengan demikian mungkin Dhriarashtra dapat mencapai kesadaran diri sejati sebelum terlambat. Akhirnya Dhritarashtra merasa bahwa Widura menyatakan hal yang benar dan memaparkan sifatnya yang rendah secara jujur. Ia berkata, “Dinda, ya, semua yang Dinda katakana itu benar, saya mengakuinya. Sekarang saya insaf. Tetapi apa yang dapat saya perbuat? Saya buta, karena itu saya tidak dapat pergi ke hutan untuk melakukan sadhana sendirian. Harus ada yang menemani saya. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Karena khawatir bahwa mungkin saya akan menderita tanpa makanan, Gandhari tidak pernah meninggalkan saya sedetik pun juga.”

Widura tahu bahwa ia telah berhasil mengubah sikap kakaknya dan melihat adanya harapan. Ia menekankan nasihatnya semula. Katanya, “Kanda menjadi buta terutama karena keterikatan pada tubuh. Berapa lama Kanda dapat dibebani dengan badan ini? Pada suatu hari, entah di mana, tubuh harus ditinggalkan. Ketahuilah bahwa Kakanda bukan tubuh ini, bungkusan yang berisi benda-benda yang memuakkan. Menyamakan diri Kanda dengan tubuh merupakan tanda kebodohan yang luar biasa. Tubuh ini terus menerus diserang oleh maut dengan bala tentara penyakitnya. Tetapi Kakanda tidak menyadarinya; Kakanda tidak menimbang baik buruknya; Kakanda tidur dan mendengkur. Ingatlah, drama ini akan ada akhirnya. Tirainya harus diturunkan. Karena itu jangan ditunda lagi, pergilah ke suatu tempat suci, bermeditasilah kepada Tuhan, dan selamatkan diri Kakanda. Biarlah maut datang dan mengambil tubuh Kakanda disana; itulah akhir yang paling baik. Jangan mati seperti anjing atau serigala di suatu tempat, entah bagaimana. Bangkitlah dan berangkat; tingkatkan ketidakterikatan. Buanglah khayal ini, tinggalkan rumah ini.”

Demikianlah benih-benih ketidakterikatan ditanamkan dalam hatinya. Lama Dhritarashtra mempertimbangkan hal ini lalu ia menangis. Bibirnya gemetar. Ia menggapai berusaha meraih Widura. Akhirnya dipegangnya tangan adiknya sambil berkata, “Widura, apa yang dapat saya katakan kepada Adinda yang telah memberikan nasihat yang amat berharga ini, petuah yang jelas bermanfaat untuk kepentingan saya? Walaupun lebih muda dalam usia, penerangan batin yang Adinda miliki membuat Adinda lebih tua dari kami semua. Adinda mempunyai wewenang penuh untuk berbicara sekehendak Adinda. Jangan menganggap saya sebagai orang luar. Dengarkan saya dengan sabar. Saya pasti akan mengikuti nasihat Adinda.” Kemudian Dhritarashtra melukiskan keadaannya kepada adiknya.

“Widura,” demikian katanya, “Bagaimana saya dapat pergi dari sini tanpa memberitahu Dharmaraja yang selama ini merawat saya dengan penuh perhatian melebihi anak saya sendiri? Tidak pantaslah berbuat seperti itu. Lalu mungkin ia akan bersikeras untuk ikut pergi bersama kita, sifatnya memang demikian. Adinda harus menyelamatkan saya dari masalah ini. Bawalah saya ke suatu tempat sehingga saya dapat beristirahat dan melakukan latihan rohani.”

Ketika ia memohon seperti itu, Widura menjawab, “Perkataaan Kakanda terdengar aneh. Kakanda tidak pergi ke hutang untuk pesta makan, menonton karnaval, atau menikmati pemandangan alam yang indah. Kakanda meninggalkan segala sesuatu dengan semangat ketidakterikatan. Kakanda akan menempuh hidup bertapa dan menjalankan latihan rohani. Bersamaan dengan itu Kakanda bicara tentang mohon diri pada sanak keluarga. Ini aneh. Kakanda memutuskan akan mengorbankan raga dalam usaha mengejar cita-cita, tetapi Kakanda memikirkan bagaimana caranya mendapatkan izin dari orang yang mempunyai pertalian jasmani dengan Kanda. Ikatan semacam ini tidak dapat menolong latihan rohani Kakanda, tidak akan pernah dapat membebaskan Kakanda. Bungkuslah keterikatan itu dan tenggelamkan dalam-dalam. Tinggalkan tempat ini hanya dengan pakaian yang Kakanda kenakan. Jangan sia-siakan kehidupan Kakanda sedetikpun.”

Demikianlah Widura menasihatinya tanpa belas kasihan; ia tidak mengubah nada bicaranya; ia menekankan pentingnya pengunduran diri dari keduniawian yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Dhritarashtra duduk di tempat tidurnya, mendengarkan dengan penuh perhatian dan memikir-mikirkan langkah berikutnya. Katanya, “Widura, apa yang Adinda katakana memang benar. Saya tidak perlu melukiskan kesulitan-kesulitan pribadi saya kepada Dinda. Tubuh ini sudah jompo, mata ini tunanetra. Setidak-tidaknya harus ada orang yang menuntun saya bukan? Kakak ipar Dinda telah menutup matanya dengan kain agar dapat ikut merasakan kebutaan saya dan ikut menderita. Bagaimana kami, dua tunanetra, dapat bergerak di hutan? Seumur hidup kami harus tergantung kepada orang lain.”

Widura melihat air mata mengalir di pipi lelaki tua itu, ia iba melihat keadaannya, tetapi tidak pernah memperlihatkan rasa kasihannya. Ia berkata secara meyakinkan, “Baiklah, saya bersedia membawa Kakanda ke hutan, saya siap. Adakah kegembiraan yang lebih besar bagi saya daripada membebaskan Kakanda dari ikatan keduniawian untuk tujuan suci ini? Mari, bangkitlah. Kita berangkat.” Widura berdiri. Dhritarashtra pun bangkit dari tempat tidurnya dan berdiri di lantai. Gandhari juga berdiri di sampingnya sambil berpegang pada bahu suaminya. Ia memohon, “Junjungan, saya juga ikut Kakanda, siap untuk apa saja.”

Dhritarashtra berkata, “Oh, sukar sekali menjaga wanita di hutan. Tempat itu penuh binatang buas dan kehidupan di sana pasti serba kekurangan. Lama ia berbicara seperti ini. Tetapi gandhari membantah bahwa ia tidak dapat meninggalkan junjungannya, bahwa ia dapat menderita kemiskinan seperti suaminya, bahwa merupakan tugasnyalah melayani suaminya hingga ajal tiba, bahwa ia hanya menuruti tradisi yang telah ditetapkan oleh tokoh-tokoh terbaik diantara wanita India bahwa tidak sesuai dengan dharmalah jika ia dicegah mengikuti kewajibannya, bahwa kehidupan di keputren tanpa suaminya tidak akan tertahankan olehnya, bahwa ia lebih suka hidup di hutan bersama suaminya dan mohon dengan sangat agar diizinkan menyertainya.

Dhritarashtra diam tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Widuralah yang berbicara, “Ini bukanlah waktu untuk membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Wanita ini tidak pernah berpisah sedetikpun dari Kakanda, bagaimana mungkin tiba-tiba ia meninggalkan Kakanda dan hidup terpisah? Itu tidak baik. Biarlah ia ikut, kita akan membawanya serta. Mereka yang melangkah maju untuk melakukan tapa tidak boleh merasa takut pada khayal, lapar, haus, kesedihan, atau penderitaan. Bukan tapa namanya jika mengeluh akan hal-hal semacam itu atau khawatir menghadapinya. Bila seseorang sudah tidak terikat atau bermati raga, mengapa mengkhawatirkan penderitaan? Ayoh, tidak ada alasan untuk menundanya.” Widura melangkah maju sambil menuntun Dhritarashtra, diikuti dengan diam oleh Gandhari yang berpegang pada bahu suaminya. Widura, abdi Tuhan yang saleh, membawa pergi pasangan ini tanpa diketahui oleh para pengawal dan warga masyarakat. Mereka melalui jalan samping dan keluar meninggalkan batas kota.

Ia menyuruh mereka bergegas agar dapat mencapai hutan sebelum fajar. Mereka harus menyeberangi Sungai Gangga dengan perahu dan sebelum matahari terbit, tidak ada tukang perahu di situ. Maka mereka terpaksa menunggu di tepi sungai suci itu. Widura menyuruh mereka beristirahat sebentar di suatu punjung dan ia sendiri pergi mencari perahu agar mereka bertiga dapat menyeberang dalam kegelapan.


Bersambung ke Bab 8


 sumber ::http://www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar