Minggu, 17 Juni 2012

ISAVASYOPANISHAD


 
ISAVASYA UPANISHAD
 (Vajasaneyi  Samhita Upanishad)
Om…..Shanti…..Shanti…..Shanti
Itu adalah keseluruhan; ini adalah keseluruhan; dari keseluruhan itu terwujudlah keseluruhan ini. Dari keseluruhan itu sewaktu keseluruhan ini dikurangi maka sisanya (tetap) saja berwujud keseluruhan itu.
Keterangan : Bagi pembaca yang masih awam, sabda pernyataan di atas ini pastilah amat membingungkan sang pikiran. Yang dimaksud dengan keseluruhan itu adalah Kemutlakan Yang Maha Esa  dengan seluruh manifestasi-manifestasinya yang termasuk Sang Atman (Sang Jati Diri) yang maha hadir di dalam diri kita sendiri, termasuk diseluruh ciptaanNya yang terhampar di jajaran jagat raya yang maha luas dan tak terbayangkan ini. Toh walaupun dikurangi semua yang kasat mata itu keseluruhan (kemutlakan) Yang Maha Esa tidak akan terkurangi sedikitpun. Demikian sabda dalam bentuk deklarasi atau pernyataan ini dimulailah karya Upanishad ini, semoga semuanya shanti dan semoga karya ini bermanfaat hendaknya bagi kita semua. Om Tat Sat.
 
I
Semua ini, bentuk apapun juga yang bergerak di Alam Semesta ini, termasuk Alam Semesta (Jagat Raya) ini, yang bergerak sendiri, hidup di dalam atau ditunjang atau terselimuti atau terbungkus oleh Yang Maha Esa. Pasrahkanlah (lepaskanlah) itu, dan seyogyanyalah dikau berbahagia. Jangan (sekali-kali) menghasratkan kekayaan (harta benda) orang lain.
Keterangan : Semua ini (edam sarvam) yang terlihat dan tak terlihat, yang terasa dan yang tidak terasa, yang terwujud dan yang tidak terwujud adalah Dia semata, berasal dariNya, diayomi olehNya dan kembali kepadaNya, seyogyanya seseorang yang sudah faham akan hal tersebut tidak tidak akan tergoda oleh bentuk (rupa) dunia materi dan isinya, karena sadar bahwa ia sendiri sebenarnya juga telah termasuk di dalamnya. Kemudian manusia ini berubah  menjadi bahagia secara spritual, ia menjadi tercukupi dalam segala hal. Ia adalah sebagian dari Sang Pencipta, jadi tidak perlu terlibat oleh dunia materi (Sang Maya), yang juga adalah ciptaan ilusiNya juga. Apapun yang berlebihan dan berkurang dari kita sebenarnya hanya ilusi saja, karena sebagai salah satu ciptaanNya dan berasal dariNya kita semua ini pada hakikatnya tetap saja utuh seperti Sang Pencipta itu sendiri. Tetapi secara materi duniawi setiap saat manusia yang penuh dengan kalkulasi yang berlandaskan untung dan rugi ini terjebak kedalam ilusi duniawi yang sudah berbentuk dan dibentuk oleh sekeliling kita semenjak kita dilahirkan di lingkungan tersebut. Padahal semua ini terbungkus oleh Yang Maha Esa (fenomena ini disebut Isa dalam bahasa Sansekerta, dalam bahasa Indonesia berubah menjadi Esa, Tuhan Yang Maha Esa).
Pada hakikatnya tubuh kita sehari-harinya memerlukan makanan, sandang dan lain sebagainya demi lestarinya raga itu sendiri. Sedangkan batin memerlukan masukan batin atau spritual dan pemikiran, dan ini adalah gejala logis dari sudut pandang duniawi. Tetapi di luar itu sang jiwa memerlukan Atman, Sang Jati Diri yang adalah asal-muasal dan tujuan kita. Jadi kalau aksi atau tindakan (karma) tubuh kita dipadu atau ditunjang oleh ilmu pengetahuan Ilahi, maka hasilnya akan mengantarkan kita kearah pengetahuan Jati Diri kita yang serba menakjubkan. Para resi pencetus ayat-ayat di atas langsung saja menyiratkan agar kita semua meniti proses pemasrahan diri secara duniawi demi tercapainya tujuan Ilahi. Dan kalau seseorang tidak sanggup menjalani pemasrahan ? Maka jalannya adalah jalan aksi (karma yoga), seperti yang tersirat di ayat-ayat berikut ini.

II
“Melaksanakan pekerjaannya secara benar di dunia ini, seseorang seharusnya berhasrat hidup untuk selama seratus tahun penuh. Jalan ini semata-mata adalah jalan yang benar karena tidak ada jalan lainnya yang benar. Tindakan tidak akan pernah mengikat seseorangyang bersifat demikian ini.”
Keterangan : Pada stanza sebelumnya ditekankan bahwa tujuan kehidupan ini adalah Yang Maha Abadi dan Absolut, tetapi tidak setiap manusia memiliki tekad dan kekuatan pemasrahan diri. Setiap manusia bertemparemen lain dan satu dengan yang lainnya, apalagi dalam dunia yang serba materialistik ini. Maka di stanza di atas para resi memberikan jalan keluar seperti yang tersirat di Bhagavat-Gita, yaitu jalan karma, di mana seseorang harus bekerja secara benar berdasarkan ketulusan, kesucian dan harus tanpa pamrih (mengharapkan pahala dalam bentuk apapun juga).
Kehidupan ini beserta setiap tindakan yang kita lakukan sehari-hari adalah suatu bentuk amanat dan tanggung jawab yang besar dari Yang Maha Esa yang tidak boleh di lecehkan. Begitu seseorang sadar atau disadarkan olehNya akan hakikat kehidupannya maka insan ini akan sadar akan tujuan berikutnya, dan tindakan atau karma orang ini akan merupakan yagna (persembahan) yang tulus bagi Tuhan Yang Maha Esa. Dan para resi mendoakan agar insan yang eling ini bisa hidup 100 tahun agar suci bersih ia sewaktu menghadap Tuhannya, dan berguna untuk seluruh mahluk hidup untuk suatu kurun waktu yang lama. Dan umur sepanjang ini tentunya sulit dicapai di zaman ini, tetapi mukzizat selalu saja terjadi selaras dengan kehendaknya.
Seyogyanya setiap manusia sadar akan pekerjaan yang paling dihargai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dan jawabannya adalah setiap tindakan yang penuh dengan dedikasi dan tanggung jawab demi ia semata. Walaupun seseorang itu adalah pemulung, pemungut sampah sehari-harinya, kalau tindakan itu dikerjakan dengan penuh kesadaran dan pemasrahan total hasil pekerjaannya, maka ia adalah seorang manusia yang berkwalitas tinggi di mata Yang Maha Esa. Karena setiap pekerjaan dan hasil kerjanya akan menciptakan suatu bentuk kesentosaan bagi sekelilingnya. Sabda para resi, pekerjaan yang penuh dedikasi adalah suatu bentuk sadhana dan sifatnya membersihkan semua hasrat dan nafsu duniawi dari berbagai kotoran. Akhirnya status orang tersebut akan terangkat secara spritual secara terus menerus dan ia akan lebih bermanfaat bagi ciptaan-ciptaan yang lain, contohnya adalah Nara dan Narayana yang bertapa brata penuh dengan kesadaran di suatu masa yang amat silam dan kemudian lahir kembali sebagai Arjuna dan Krishna. Kita semua adalah replika-replika kecil dari Nara dan Narayana ini dan kalau kita eling dan waspada selalu akan hakekat pekerjaan yang kita sandang dan tujuan akhir kita, maka kita tidak akan ternoda oleh setiap tindakan atau karma kita, karena semua itu lalu akan sesuai dengan kodrat yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita.
 
III
“Tidak ada surya (mentari) di loka-loka tersebut, dan dunia-dunia ini terbungkus oleh kegelapan yang mencekam, mereka-mereka yang membantai jiwa-jiwa mereka sendiri pergi menuju ke loka-loka ini setelah meninggalkan dunia ini.”
Keterangan : Di stanza-stanza sebelumnya manusia yang soleh dan bijak dibagi dua kategori, yaitu yang mengambil jalan meditasi (pemasrahan) dan yang mengambil jalan aksi (karma-yoga). Lalu apakah yang akan terjadi kepada mereka-mereka yang hidupnya bergelimangan dosa dan tidak pernah sadar akan hakikat kehidupan ini. Kemana mereka akan menuju setelah kematian mereka ? Mereka akan menuju ke loka-loka, yaitu suatu strata atau tahap kehidupan berikutnya yang penuh dengan kegelapan ilmu pengetahuan suatu bentuk kehidupan yang rendah sekali kwalitasnya. Proses penyianyiaan akan hakikat kehidupan ini disamakan dengan pembantaian atau bunuh diri terhadap jiwa mereka sendiri (atmahanah). Ketiga stanza di atas menerangkan akan tiga sifat manusia di dunia ini, stanza keempat akan menjelaskan hakikat akan Sang Jati Diri (Atman) secara indah, yang merupakan tujuan hidup setiap manusia.
 

IV

“Sang Jati Diri ini bersifat tidak bergerak, Beliau lebih cepat dari sang pikiran. Para dewa tidak mampu menjangkauNya. Beliau selalu melaju lebih awal di depan mereka. Dalam keadaan diam bersemayam, Beliau lebih cepat melaju jauh melebihi para pengejarNya. Melalui Beliau, Sang Matarisran menunjang aktivitas semua bentuk kehidupan.”
Keterangan : Setelah ketiga stanza sebelumnya yang menerangkan akan berbagai hakikat Sang Jati Diri, maka stanza keempat ini melengkapi satu Vakya, yang terdiri dari 4 stanza.
Di sini diterangkan beberapa sifat Beliau (Sang Atman, Yang Maha Esa dalam bentuk Sang Jati Diri yang hadir di dalam setiap ciptaan), dari sudut nalar dan logika pikiran duniawi (Gunas). Tentu saja seluruh isi ayat di atas, ditambah semua ayat-ayat suci dalam karya ini maupun semua penjelasan dari berbagai ajaran di dunia ini tidak akan mampu menjabarkan hakikat Yang Maha Esa, karena sudut pandang dan rasa manusia tidak akan pernah bisa sama dengan Sang Maha Pencipta seluruh jagat raya yang tak dapat diterangkan dari sudut pandang logika manusia.
Kalimat, “Sang Jati Diri bersifat tidak bergerak”bukan berarti Yang Maha Esa itu merupakan patung atau benda mati, tetapi lebih bermakna bahwa Beliau itu walau tidak bergerak sedikitpun dari tempat bersemayamNya tetapi mampu menjangkau setiap elemen di alam semesta yang tak terterangkan luasnya ini. Yang Maha Esa tidak terikat oleh spasi, ruang, tempat maupun jarak dan waktu. Beliau itu di atas, disebut juga lebih cepat dari ciptaan-ciptaan Beliau termasuk seluruh jajaran dewa-dewi.
Sang Matarisvan yang disebut di stanza di atas adalah seorang dewa yang mengayomi atmosfir (termasuk udara) dan dewa yang satu ini mewakili adalah manifestasi Yang Maha Esa yang menunjang seluruh ciptaan dengan udaranya. Beliau dikenal juga sebagai dewa yang hadir di dalam air, dan kata mata berarti juga akasa (ether). Udara secara alami ditunjang oleh akasa, tanpa akasa atau ether ini udara tidak akan bisa eksis, sedangkan tanpa udara air tidak akan hadir. Akasa bersal dari Sang Atman (Sang Jati Diri = Yang Maha Esa). Artinya, semua yang berasal dariNya, ditunjang olehNya dan berinteraksi sesamaNya. Bhagavat-Gita menyiratkan hal yang sama berulang-ulang kepada kita semua. Sebaiknya manusia sadar bahwa para dewa-dewi adalah fenomena-fenomena Ilahi, dan ilustrasi para dewa-dewi sebenarnya adalah simbolisasi dari elemen fenomena-fenomena tersebut. Untuk yang ingin memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk simbol-simbol atau arca ataupun gambar diperbolehkan, tetapi tujuan sebenarnya dari setiap Upanishad dan Veda adalah Sang Atman, Sang Jati Diri Yang Maha Menakjubkan ini.
 
V
“Sang Atman (Jati Diri) bergerak tetapi Beliau tidak bergerak; Beliau jauh keberadaanNya; Beliau berada di dalam semua ini, dan Beliau juga berada jauh di luar semua ini.”
Keterangan : Dalam setiap ciptaan terdapat Sang Atman, Beliau ini terkesan bergerak kesana kemari karena semua ciptaan berjiwa selalu bergerak tanpa henti-hentinya. Tiada henti-hentinya kita semua juga berpikir, bersantap, bekerja, merasakan, mencium bebauan dan sebagainya. Pada hal Sang Jati Diri di dalam tempat bersemayam Beliau di inti jiwa kita tenang-tenang saja dan tidak bergerak kesana kemari walaupun sang raga selalu bergerak tanpa henti.
Tuhan itu dekat sekali dengan manusia dan seluruh ciptaan-ciptaanNya karena hadir sebagai Sang Atman di dalam diri setiap mahluk ciptaanNya, tetapi manusia sebaliknya mencariNya kesana kemari bahkan sampai jauh-jauh menyeberangi lautan untuk bertirtayatra ke tempat-tempat suci di berbagai belahan bumi ini. Jadinya Beliau terkesan jauh tempatNya, padahal selalu hadir di dalam diri kita bahkan selalu eksis di sekeliling kita dalam berbagai ciptaanNya.
Karena gagal menyatu denganNya maka sebagian manusia menyatakan bahwa Tuhan itu tinggal diswarga loka, tetapi swarga loga ada dimana, tidak seorangpun yang mampu menjelaskan. Ilusi ini pemberian Yang Maha Esa juga untuk “Menyesatkan manusia” dari jalan spritualnya sampai kemudian dituntun lagi ke arahNya dengan penuh kesadaran, fenomena ini disebut vignana, dan manusia harus sadar dan menjalani hakikat ini. 
 
VI
“Barang siapa secara konstan menyaksikan semua bentuk eksistensi di manapun, berada di dalam sang Jati Diri dan Sang Jati Diri yang Hadir di dalam semua mahluk dan bentuk, selanjutnya tidak akan pernah surut dari apapun juga.”
Keterangan : Hal yang sama di atas oleh Sri Krishna ditekankan berkali-kali kepada Arjuna dalam Srimad Bhagavat-Gita. Stanza di atas konon kabarnya sering diremehkan oleh para peneliti karena dianggap klise. Pada hakikatnya tidak mudah bagi seseorang untuk mencapai status seperti diutarakan di atas. Diperlikan jutaan tahun dan entah beberapa kali reinkarnasi, untuk akhirnya seseorang mampu merasakan dan menyaksikan dengan penuh kesadaran kehadiran Yang Maha Esa di dalam setiap ciptaanNya. Penyaksian Ilahi secara spritual ini didambakan setiap resi agung dari masa ke masa, dan disebut sebagai “terbukanya mata ketiga”, yaitu mata kebijaksanaan Ilahi yang terdapat di tengah-tengah kedua alis mata kita.
 
VII
“Sewaktu kepada seseorang yang mengetahui ini, semua mahluk menyatu di dalam Atmannya, maka tidak mungkin seseorang ini akan tersesat selanjutnya. Tidak akan ada kekhawatiran baginya karena ia melihat kesatuan ke mana pun ia memandang.’
Keterangan : Seseorang yang masih terikat dengan berbagai keterikatan duniawinya (moha) dan rasa kekhawatiran (soka) akan setiap hal di dunia ini disebut oleh para kaum bijak sebagai manusia yang “tersesat” di jalan spritualnya yang sedang menuju ke arah Yang Maha Esa. Tetapi sewaktu mata (horison) kebijaksanaan spritualnya terbuka ia akan melihat Yang Maha Kuasa hadir di dalam setiap mahluk, setiap ciptaan, dalam setiap tindak-tanduk manusia, dalam setiap fenomena alam semesta. Ia akan selalu “tersenyum” melihat mereka-mereka yang menderita, yang berbahagia, yang hidup, yang mati, yang bekerja, yang tersesat, yang lurus, yang bajik, yang batil, dan sebagainya. Karena yang disaksikan olehnya adalah suatu fenomena Ilahi yang sistimatis, yang merupakan hasil karya Tuhan Yang Maha Esa semata. Pada tahap ini insan agung ini akan mencapai moksha walaupun ia masih hidup di dunia ini. Orang semacam ini tidak akan terguncang oleh penderitaan dan kebahagian sebesar apapun juga.

VIII

“Beliau, Sang Atman, bersifat Maha Hadir di dalam segala-galanya, bercahaya, tanpa raga, tanpa luka (cacat), tanpa otot, hakiki, tak tersentuh oleh iblis, bijaksana, maha tahu, transendental, dan eksis dengan dayaNya sendiri. Hanya Beliau ini sendiri yang memerintahkan para pencipta-pencipta Abadi bekerja sesuai dengan fungsi mereka masing-masing.”
Keterangan : Tegas sekali disabdakan di atas bahwa Yang Maha Kuasa ini tidak terbatas sifat dan kekuasaannya. Beliau bercahaya, kata cahaya di sini juga bisa berarti unsur-unsur penerangan spritual, hal yang sama juga didapatkan dalam ajaran-ajaran agama lain. Tanpa raga berarti Yang Maha Esa tidak terikat oleh fenomena bentuk atau rupa dari segala ciptaan Beliau. Para resi pengarang karya ini pada saat ini sedang mengarahkan kita ke arah penjabaran akan hakikat Yang Maha Esa dari sudut pandang negatif (bukan ini, tanpa ini…..dan sebagainya). Sedangkan pada stanza-stanza sebelumnya Yang Maha Esa dijabarkan dari sudut pandang positif. Fenomena negatif maupun positif ini dalam bentuk atau ekspresi apapun juga adalah duniawi.
Tetapi Sang Pencipta tidak tersentuh maupun ternoda oleh semua fenomena ini karena Beliau itu bersifat hakiki, suatu “zat” murni yang tak terterangkan oleh manusia maupun oleh para dewa, tidak pada masa-masa yang telah lalu, tidak sekarang dan tidak juga pada masa-masa yang akan datang. Keseluruhan sifat Yang Maha Esa baik dari sudut pandang negatif maupun positif diakumulasi oleh para resi dan dijelaskan sebagai “Isa” (Yang Maha Esa), suatu bentuk Realitas Hakiki yang tidak dapat diterangkan walaupun dipelajari dan ditinjau dari berbagai sudut. (Kata Isa ini menjadi Esa di dalam bahasa Indonesia).

 IX

“Mereka-mereka yang memuja Avidya (kebodohan, kekurang pengetahuan jatuh terjerumus ke dalam kegelapan yang teramat pekat, dan mereka yang memuja vidya (ilmu pengetahuan) semata-mata, jatuh terjerumus ke dalam kegelapan yang lebih pekat lagi.”
Keterangan : Pada awal karya Upanishad ini kita terkesan mendapatkan jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaan spritual yang menganjal selama ini, seperti misalnya  Kehidupan semacam apakah yang harus dijalani oleh seorang manusia saleh? Jalan aksi atau jalan meditasi ? Yang manakah yang lebih ideal untuk umat manusia, bekerja atau berilmu pengetahuan ? Di era yang serba canggih ini manusia cenderung bertanya-tanya seyogyanya kita beragama atau bersifat sekuler atau atheis, dan sebagainya. dari zaman ke zaman pertanyaan-pertanyaan ini selalu eksis dan manusiapun selalu bersifat pro dan kontra sesuai dengan latar belakang budaya dan pendidikannya. Pengarang Upanishad ini sadar betul akan kegalauan manusia yang sedang meniti jalan spritual ke arah panciptanya dan dalam ketiga stanza berikutnya Beliau menyampaikan kesimpulannya.
Di stanza atas, sang resi mengistilahkan keragu-raguan manusia dalam dua faktor yaitu Vidya dan Avidya, tetapi kedua kata tersebut bisa juga diartikan sebagai Upasana dan karma (jalan karma dan jalan meditasi). Semua orang sadar bahwa jalan karma atau berbagai tindakan manusia ini penuh dengan sifat pamrih sedangkan jalan meditasi seyogyanya tidak tersentuh pamrih. Di dalam jalan karma terdapat berbagai bentuk ritual dan prosedur agama yang seakan-akan memberatkan dan membingungkan manusia. Bahkan Veda-Veda penuh dengan petunjuk yang ibaratnya sarat dengan berbagai ini-itu yang terkesan sebagai suatu kegelapan atau ketidak pastian bagi umat. Sebaliknya mereka yang mengambil jalan dhyana (meditasi) sering terjerumus ke meditasi yang salah dan menyesatkan karena terjegal ditengah-tengah oleh berbagai kesulitan dan kesaktian (sidhi), mereka ini ibaratnya terjerumus ke lembah yang lebih kelam lagi. Pada hakikatnya ujung jalan ini terang benderang, tetapi tidak selalu dapat disaksikan oleh para pemula apalagi yang tidak punya penuntun.
Di masa-masa yang silam para resi telah banyak beragumentasi sesama mereka tentang hakikat Vidya dan Avidya. Kemudian para kaum bijak ini menyimpulkan bahwa kedua jalan ini sebagai suatu kesinambungan yang saling bertautan yang seharusnya dialami setiap manusia dalam perjalanan hidupnya. Hasil evaluasi mereka adalah sebaiknya seseorang pendaki jalan spritual ini berkarma dulu sesuai dengan kodratnya dan pada mulanya diawali dengan Avidya dan baru bersadhana dan masuk ke Vidya, ibaratnya “kotor” dan bodoh dulu baru pintar dan “bersih”. Hal ini lebih baik dari pada pintar dahulu lalu tersesat di dalam ego atau sidhi, manusia semacam itu lalu masuk kedalam kegelapan yang tidak ada ujung pangkalnya seperti yang tersirat dalam ajaran Sri Krishna di dalam Bhagavat-Gita. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak ada ujungnya, sehingga sering juga disebut sebagai “kegelapan”, makin dipelajari makin tidak tahu.
 
X
“Ada sesuatu hal, kata mereka, yang pasti didapatkan dari Vidya (ilmu pengetahuan), ada sesuatu yang lain, kata mereka, yang didapatkan dari Avidya; demikianlah yang kami dengar dari sabda-sabda para kaum bijak yang yang menjelaskan hal tersebut kepada kami.”
Keterangan : Sebagaimana yang kita fahami semua, Hindhu Dharma bukanlah sebuah produk instan, tetapi lebih merupakan akumulasi dari berbagai ajaran dan pengalaman spritual berbagai resi dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang lain di masa lampau (Sanatana Dharma), Diskusi mengenai Vidya dan Avidya dari masa ke masa telah menjadi inti utama diskusi antara para guru dan resi, dan semua jalan yoga seperti bhakti, karma, dhyana dan gnana selalu diakui oleh Sri Krishna di Bhagavat-Gita sebagai berbagai jalan yang diambil oleh umat manusia yang menuju ke arahNya, dan selangkah seorang invidu menapak ke arahNya, seribu langkah Yang Maha Esa datang  menyambutnya. Sehingga apakah seorang memiliki ilmu pengetahuan atau tidak bisa saja tidak menjadi masalah karena kalau seseorang memiliki nurani yang bersih maka ia akan lebih condong melakukan hal-hal yang bersifat satvik dan kalau nuraninya kotor maka setiap tindakan dan peri lakunya juga akan bersifat tamasik.
Para kaum bijak di masa lalu bersatu dan mendeklarasikan lambang Omkara dan Swastika masing-masing sebagai pengejawantahan Tuhan Yang Serba Maha (Om), dan Beliau bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan (gnana), dengan dhyana, dengan karma, dengan bhakti, dan ini disimbolkan dengan Swastika yang mempunyai empat tangan berupa belalai Geneshya yaitu dewanya para dewa-dewi yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dan semua jalan yang disebutkan di atas. Kalau swastika ini dibalik arahnya dari kanan ke kiri maka simbol ini menyiratkan ilmu pengetahuan asura (iblis), dan kaum nazi serta penganut ilmu hitam adalah pemuja simbol swastika yang terbalik ini, warna swastika terbalik ini biasanya hitam. Sedangkan swastika yang lurus berwarna merah dan ditambah empat titik ditengah-tengah dan dua buah garis lurus masing-masing di sisi kanan dan kiri yang melambangkan sidhi dan vidhi yang berarti dharma dan adharma yang adalah istri-istri atau pendamping Dewa Ganeshya. Seharusnya seorang yang bijaksanan belajar dari simbol-simbol ini jalan mana yang diambilnya. Keseimbangan dalam setiap hal tersirat di dalam di dalam simbol-simbol ini, dan itulah inti ajaran dharma. Bhagavat-Gita menyatakan agar kita semua mengendalikan semua organ-organ (indra-indra) kita bukan menghentikan kegiatan mereka secara total atau malahan dipergunakansecara berlebihan. Bukankah Sidharta Buddha Gautama juga mengajarkan jalan tengah ini?
Konon Omkara yang diwahyukan kepada 108 resi di masa yang lalu, menyimbolkan Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi dan karya-karyaNya tak dapat dijabarkan secara logika manusia. Ke 108 resi ini masing-masing mewariskan satu Upanishad, dan ini disimbolkan dengan mala-ganatri. Ditengah-tengah untaian setiap mala-ganatri hadir sebuah lingkaran kosong, yang bermakna bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu identik dengan kekosongan itu, hadir tetapi tiada, tiada tetapi hadir sebagai lingkaran kosong melalui 108 Upanishad. Bhagavat-Gita menyiratkan sebaiknya seseorang menanggalkan dengan sadar segala unsur-unsur ilmu pengetahuan dan sebaliknya (dvandas) demi mencapai sesuatu yang berada di atas kedua-duanya tersebut, yaitu Yang Maha Absolut. Asthavakra-Gita menyiratkan hal yang sama, semua Upanishad dan Veda Shastra, Smritis dan berbagai yoga shastra menyiratkan hal tersebut. Ditahap ini yang eksis adalah kebijaksanaan Yang Maha Esa semata, dan seseorang yang telah terserap kedalam situasi ini sudah tidak memerlukan apa-apa lagi di dunia yang fana dan penuh dengan ilusi Sang Maya ini. Mungkin kata-kata bijak dari seorang filsuf Tiongkok, Lao Tse harus kita simak :
“Semakin tahu semakin kita jadi lebih tidak tahu.”
dan,
“Seseorang yang mengetahui sebenarnya tidak tahu
 dan seseorang yang tidak tahu,sebenarnya mengetahui.”
 
XI
“Seseorang yang mengetahui (sadar akan) Vidya dan Avidya pada saat yang bersamaan, mengatasi kematian yang timbul akibat Avidya dan ia mendapatkan keabadian melalui Vidya.”
Keterangan : Ayat di atas telah menimbulkan perdebatan yang seru diantara para resi dan kaum bijak dari masa ke masa. Mereka semua juga takjub akan keluasan horison pemikiran sang pengarang Upanishad ini, yang seakan-akan penuh dengan kontradiksi tetapi secara perlahan dan pasti menuntun para sishyanya ke suatu bentuk kebijaksanaan spritual yang sebenarnya adalah inti sari dari berbagai ajaran spritual di India, khususnya Bhagavat-Gita. Pada karya ini diajarkan Bhagavat-Gita belum eksis, diperkirakan karya suci Bhagavat-Gita banyak sekali mendapatkan inspirasi dari Isavasya Upanishad ini disamping berbagai Upanishad lain.
Pada awal Upanishad ini dinyatakan bahwa Vidya dan Avidya menggiring seseorang ke arah kegelapan yang teramat dalam. Tetapi pada ayat di atas dengan penuh kebijaksanaan sang resi pengarang karya ini sedang menuntun kita semua ke suatu gabungan atau persatuan antara Vidya dan Avidya dalam suatu bentuk sintetis yang harmonis.
Dan seperti apakah sintetis yang harmonis tersebut. Di ayat ini disebutkan bahwa seseorang yang pada saat yang bersamaan faham akan Vidya dan Avidya akan sanggup mengatasi kematian yang diakibatkan oleh Avidya dan mendapatkan keabadian melalui Vidya. Kesimpulan para kaum bijak, sebenarnya Yang Maha Esa telah menciptakan unsur Vidya dan Avidya dalam 2 sisi mata uang, tetapi eksistensi keduanya berada dalam satu keping mata uang tersebut. Taoisme menyimbolkannya dalam bentuk Im dan Yang, bahasa Sansekertanya disebut Anga dan Angi. Kedua faktor ini terpisah tetapi yang satu terpadu dengan yang lainnya dalam suatu kesatuan yang utuh. Seseorang yang faham akan misteri ini dan selalu seimbang ibarat mengayuh sepeda dengan dua roda yang berjauhan tetapi dapat melaju dalam keseimbangan disebut sebagai seorang yang telah mengendalikan dan berada di atas kedua unsur tersebut.
Seseorang yang telah mencapai tahap tersebut diatas adalah para resi, guru, utusan Yang Maha esa dan kaum bijak, dan mereka selalu eksis dalam jumlah yang kecil tetapi sangat ampuh wawasannya, dan mereka eksis dari masa ke masa menuntun umat manusia yang selalu cenderung melupakanNya. Di waktu berbagai ego positif dan negatif, beserta segala ikatan dan cinta duniawi seseorang sirna tanpa batas, maka akan terungkaplah sebuah wawasan spritual seseorang, dan wawasan ini berintikan unsur-unsur keabadian. Insan yang agung ini akan sadar bahwa kematian itu hanya terjadi pada raganya saja, tidak pada jiwa maupun Sang Atman yang merupakan Jati Dirinya yang sesungguhnya tidak dapat binasa karena akan selalu berpindah-pindah raga dari suatu kelahiran ke kelahiran yang lain, dari suatu tahap ke tahap yang lainnya. Pada saat tersebut manusia agung ini menyatu dengan Atmanya yang murni dan bersifat hakiki, selanjutnya semua karma-karmanya akan melepaskan diri mereka dari insan yang agung dan suci ini, Ia tidak akan terikat lagi dengan semua karma dan efeknya. Tahap ini disebut sebagai tahap Keabadian,  tahap penyatuannya dengan Yang Maha Esa.
 

XII

“Mereka-mereka yang memuja Yang Tak Termanifestasi (tak berwujud) jatuh ke dalam kegelapan yang pekat. Mereka-mereka yang membaktikan diri mereka kepada Yang Termanifestasi (Yang Berwujud) bahkan jatuh ke dalam kegelapan yang lebih pekat.”
Keterangan : Tuhan yang tak terwujud atau yang menyandang suatu bentuk (Asam bhuti) dan Tuhan yang berwujud (Sambuthi) adalah dua penampilan Yang Maha kuasa kepada insan manusia, sesuai dengan kapasitas iman masing-masing manusia. Ada jenis manusia yang harus menyembah kepada arca, gambar dan lain sebagainya karena bagi mereka Tuhan hadir seperti wujud-wujud tersebut.
Ada yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu adalah sesuatu zat  yang maha tak dapat diungkapkan atau dijabarkan dan oleh karena itu mereka menghaturkan sembah kepada Yang Tak Berwujud ini. Ada yang menyebutNya Bapak atau Ibu, ada yang melalui intuisinya sembahyang kepada kekosongan di alam semesta dan di antara kedua alis matanya sendiri, semua ini diterima Yang Maha Kuasa, karena pada hakikatnya semua insan dan manifestasiNya berasal dariNya semata, dan setiap ciptaan berperilaku sesuai dengan kehendakNya juga.
Bagi sementara pemuja Tuhan yang berwujud lebih mudah untuk disembah dan dipuja dari pada Yang Tak berwujud. Tetapi banyak juga yang memuja simbol Omkara dan Swastika, kemudian yang beriman kepada Sri Krisna dan Sri Rama tetapi tidak seperti lukisan ataupun arca yang mereka lihat sehari-hari tetapi lebih pada intisarinya.
Ada juga yang memuja unsur maha panca butha seperti air, agni dan lain sebagainya. Di era yang serba maju ini, Sanatana Dharma di India dan secara luas lebih berorientasi dan melandaskan diri kepada ilmu pengetahuan. Secara meyakinkan, secara universal masalah telah bergeser dari ritual ke bakti dan gyana (ilmu pengetahuan). Sedangkan di Indonesia masih terfokus ke ritual yang mulai meresahkan kaum muda yang merasakan hal-hal tersebut sebagai pembuangan waktu yang sia-sia saja. Lalu yang manakah jalan yang benar, toh perdebatan ini sudah mulai dari masa ribuan tahun yang lalu. Upanishad ini menyiratkan bahwa segala perdebatan akan yang Maha Esa itu sebenarnya tidak berguna dan sia-sia adanya, karena pada hakikatnya Vidya dan Avidya sebenarnya saling tunjang menunjang sifatnya, demikian juga dengan gyana dan bakti sebenarnya tidak bertentangan satu dengan yang lain. Pada dasarnya yang satu bisa lebih mantap kalau ditunjang oleh yang lainnya, contoh : Seseorang yang berbakti kepada Yang Maha Esa akan lebih mantap baktinya kalau ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan begitu juga sebaliknya. Ilmu pengetahuan bisa didapatkan dengan melihat, mendengar, membaca, dan banyak bergaul dengan orang-orang yang bijak. Sedangkan bakti bisa dilakukan dengan berbagai cara baik itu suatu wujud persembahan kecil yang dilakukan sehari-hari atau suatu bakti sosial demi sesama ciptaan, bisa dirumah, di pura, di panti sosial dan lain sebagainya. Kalau setiap golongan berdebat terus satu dengan yang lainnya, maka semuanya akan terjerumus ke dalam suatu bentuk kegelapan yang pekat (yaitu tersesat jalan spritualnya).
 

XIII

“Ada sesuatu hal, sabda mereka (Para Resi), yang pasti didapatkan dengan memuja yang bermanifestasi (berwujud). Ada lagi sesuatu hal yang lain, sabda mereka, yang didapatkan dengan memuja yang tak bermanifestasi (tak berwujud); demikianlah yang telah kita dengar dari kaum bijak yang telah menyabdakannya kepada kami.”
Keterangan : Tiada pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang sia-sia. Yang Maha Kuasa faham akan kadar iman semua ciptaanNya. Oleh karena itu di Bhagavat-Gita ditegaskan bahwa siapapun yang memujaNya dengan cara apapun, dalam bentuk apapun, dengan persembahan dalam bentuk apapun juga itu diterima olehNya. 
 

XIV

“Barang siapa memuja Yang Maha Esa dalam bentuk yang Tak Berwujud dan (barang siapa) memuja Yang Maha Esa dalam bentuk yang Berwujud, maka kedua-duanya akan melampaui Kematian melalui pemujaan kepada Yang Berwujud dan mendapatkan Keabadian melalui pemujaan kepada Yang Tak Berwujud.”
Keterangan : Hinduisme (Sanatana Dharma) dari kurun masa yang teramat silam berkembang dari suatu ajaran yang primitif menjadi suatu bentuk filosofi yang tak tertandingi di dunia ini.
Dharma ini satu-satunya di dunia ini yang begitu liberal dalam penghayatannya akan Yang Maha Esa dan boleh dijalani melalui berbagai bentuk yoga apakah itu bakti-yoga ataukah jnana atau yoga-yoga lainnya. Bhagavat-Gita terdiri dari 18 bab yang dianggap 18 jalan yoga, dan boleh dipilih oleh pemujanya sesuai dengan intuisinya. Bahkan seorang kafir, atau yang berstatus hina-dina dapat langsung menyatu denganNya seandainya ia penuh dengan bakti atau ilmu pengetahuan, dan seandainya seseorang berhasil menyatu (manunggaling kawula gusti) dengan Yang Maha Kuasa, maka bagi insan agung semacam ini tidak ada kematian lagi, karena ia sadar bahwa kematian itu hanya sebuah proses wajar di alam semesta, ibarat mengganti baju yang usang dengan baju yang baru, sama seperti suatu kelahiran, yang mengantarkan seseorang dari suatu bentuk kehidupan ke kahidupan yang lainnya. Dan semua proses ini telah sesuai dengan tugas-tugas yang disandang sang jiwa demi baktinya kepada Yang Maha Esa baik ia sadari atau tidak. Untuk yang telah manunggal ini, maka keabadian adalah anugrah, karena seseorang yang telah menyatu, tentu seketika abadi sifatnya sesuai dengan pembaurannya dengan Yang Maha Abadi.
 
XV
“Wajah kebenaran itu terbungkus oleh tirai yang terbuat dari emas; singkapkanlah (tirai ini), wahai Sang Surya, bagiku, seorang pemuja akan kebenaran, agar terlihat olehku Kebenaran Tersebut.”
Keterangan : Di atas ini yang tampil pada saat ini adalah sebuah mantra yang ditujukan kepada Sang Surya, agar sang pemuja dituntun ke arah Yang Maha Kuasa. Sudah menjadi tradisi di India untuk memohon kepada Sang Surya semua bentuk petunjuk mengenai kesehatan dan hal-hal yang berhubungan dengan spritual, karena pada awalnya Sang Surya diangap sebagai Tuhan pemberi kehidupan bagi semua ciptaanNya, Sang Surya dianggap purusha dan bumi dianggap Pardana, Surya adalah ayah dari berbagai kehidupan ini dan bumi adalah ibu dari semuanya di muka dan di dalam bumi ini.
Menarik sekali untuk disimak bahwa ada dua resensi untuk Upanishad yang satu ini yaitu Kanva dan Madhyadina. Menurut Madhyadina mantra tersebut di atas adalah akhir dari seluruh ajaran Upanishad ini, sedangkan menurut resensi Kanva masih ada tiga buah mantra lagi, total 18 mantra. Bagi kita para sishya yang bersifat universal sebaiknya kita bersyukur karena mendapatkan ajaran yang langka ini di zaman yang serba tidak karuan ini.
Di India, sampai kini para guru menganjurkan para sishya untuk menghafalkan 4 mantra terakhir ini dan diucapkan setiap hari mengawali setiap pemujaan ataupun pengajaran spritual. Keempat mantra ini juga diangap penting untuk diucapkan sewaktu ajal menjelang tiba agar kelahiran berikutnya bisa dituntun oleh Sang Surya ke arah CahayaNya, Cahaya Kebenaran Yang Maha Esa. Yang Maha Kuasa di Upanishad ini telah dijabarkan dari segala sudut dan fenomena, tetapi pada kenyataannya Beliau itu tetap saja satu (Eka) intisariNya. Fenomena ini disebut Isa oleh para kaum bijak dari masa ke masa.
 
XVI
“Wahai Pushan (Sang Surya, pemberi kehidupan), Oh, Penyaksi Utama, wahai pengendali semuanya, Surya, putra Prajapati; pancarkanlah cahayaMu dan satukanlah cahayaMu yang membara……kulihat bentukmu yang menakjubkan…….Sang Purusha di dalam dirimu, Ia adalah Aku.”
Keterangan : Sang Surya oleh pengikut Hindu Dharma disimbolkan dan dianggap sebagai pemberi, pengayom dan pengantar setiap jiwa untuk kembali ke Yang Maha Kuasa disaat sang ajal datang menjemput manusia, juga Beliau dianggap sebagai bentuk agung lainnya dari Sang Atman, yang tanpa kehadirannya bumi ini sudah binasa seperti planet-planet lainnya di tata surya kita. Dari zaman dahulu sampai sekarang kaum Hindu berhatha-yoga di pagi hari dengan memuja Sang Surya dulu, dan yoga ini disebut Surya Namaskar (puja-puji ke Hyang Surya). 
Dengan kata lain kaum Hindu menganggap Sinar Sang Surya adalah Sinar Kebenaran Ilahi (Isa). Sang Surya juga adalah guru dari resi Yagnavalkya yang terkenal pengarang Sukla Yajurveda Samhitas, dan Isavasya Upanishad ini termasuk bagian dari Samhita ini. Dan keseluruhan Samhita ini adalah ajaran Sang Surya kepada umat manusia melalui para resi pengarang karya agung ini. Oleh karenanya sang resi (atau para resi) kitab ini sebelum menutup ajarannya berdoa menghaturkan puja-puji kepada Hyang Surya yang dianggapnya sebagai maha-gurunya, sekaligus memperingatkan para sishyanya bahwa semua datang dariNya dan akan kembali kepadaNya melalui Hyang Surya (ingat api atau agni berasal dari Surya), dan sewaktu dikremasi raga kita akan dimakan oleh Sang Agni untuk kemudian diubah menjadi asap dan menyatu kembali dengan ether, tanpa unsur cahaya dari Hyang Surya proses ini tidak akan terwujud secara sempurna, oleh karena itu kremasi memakai gas itu dianggap tidak sempurna karena faktor panca maha buthanya tidak lengkap, dan dilarang oleh Hindhu Dharma, kecuali dalam keadaan darurat dimana kayu sulit didapatkan.
Sang Pemuja kebenaran di atas seakan-akan memohon kepada Hyang Surya agar melalui berkahnya ia dapat mendekat ke Isa yang bersemayam dimana-mana, juga merupakan kekuatan inti yang bersemayam di dalam Sang Surya, suatu sumber kehidupan Yang Maha Dashyat yang menunjang bumi dan seluruh ciptaan bumi, yang tanpa bantuan surya ini, bumi tidak mungkin mampu mencipta berbagai ciptaan ini apalagi mengayomi dan mendaur ulangnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa sistim tata surya saja saling menunjang kehidupan mikro dan makro kita semua, jadi seyogyanya manusia pun melalui berbagai bakti dan puja mereka saling membantu dan bukan saling bersaing dan bertentangan, karena itu berlawanan dengan hukum alam semesta yang harmonis.
Pada saat Sang Pemuja manunggal dengan Yang Maha Esa ia merasakan jiwanya adalah serupa dengan inti jiwa di alam semesta ini, dan ia penuh dengan kesadaran Ilahi berseru “Ia adalah Aku,” Sang Purusha yang bersemayam di dalamMu. Bhagavat-Gita menyatakan bahwa seseorang bhakta mampu mencapai status ini walaupun masih menyandang raga. Kalau seseorang masih terbungkus oleh ego duniawinya maka yang dipuja, dilihat dan yang dirasakan adalah bentuk, tetapi kalau ia telah menyatu dengan AnugrahNya maka seluruh bentuk dan ego dunianya akan sirna seketika, dan seketika itu juga ia menyadari akan HakikatNya, tahap ini disebut Nirvikalpa Samadhi. “Yang memahami Brahman berubah menjadi Brahman” demikian sabda yang sering disiratkan di berbagai Veda dan dari satu Upanishad ke Upanishad lainnya. Manusia tidak mampu menyaksikan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sebaliknya eksistensi Yang Maha Esa dapat hadir ke setiap manusia yang memujaNya, yang disentuh oleh Yang Maha Kuasa itu sendiri, tidak jadi persoalan bagi Yang Maha Esa, jalan apa yang ditempuh oleh sang pemuja yang berbakti kepadaNya, sekali ia manunggal denganNya manusia tersebut berubah menjadi bentuk Keabadian dan Kebenaran itu sendiri (Dia adalah Aku).
 
XVII
“Semoga pranaku menyatu ke udara yang hadir, dan semoga ragaku terbakar oleh api dan berubah menjadi abu. Om. Wahai sang pikiran ! Ingat, ingat, apa saja yang telah dikau lakukan ! Oh ingat, ingat apa saja yang telah dikau lakukan !”
Keterangan : Sewaktu seseorang yang telah manunggal ke Jati Dirinya dihampiri kematian, maka penuh dengan rasa eling (kesadaran) dan kewaspadaan ia melihat masa lalunya yang penuh dengan tingkah laku yang didasarkan pada pikiran-pikirannya dan iapun berseru penuh dengan rasa takjub yang dilandasi kesadaran tersebut. Bagi orang ini kematian berarti mengembalikan kelima unsur maha panca bhutanya kepada elemen tersebut masing-masing penuh dengan kesadaran tanpa suatu ikatan duniawi apapun juga, dan bagi yang telah eling ini tidak ada hal yang lebih membahagiakan seseorang dari pada meninggal dunia dengan cara ini, dan kematian seperti ini sangatlah langkah. Manusia agung ini melangkah ke arah pembebasan dan penyatuan ke Yang Maha Esa penuh dengan keyakinan dan kebahagiaan. Om Tat sat.
 
XVIII
“Wahai Agni ! Bimbinglah kami ke arah “kekayaan” melalui jalan kebajikan yang dikau fahami, wahai Yang Maha Kuasa, (Dikaulah) semua jalan yang beragam tersebut. Jauhkanlah ikatan-ikatan noda (dosa) kesesatan dari kami. Kami persembahkan puja-puji kami yang terbaik bagiMu.”
Keterangan : Di stanza terakhir ini, yang merupakan aliran pemikiran yang ketujuh dan terakhir, baik sang guru maupun sang sishya bersama-sama menuju ke arah Yang Maha Esa dalam bentukNya yang berwujud yaitu Agni, agar dituntun ke arah yang benar demi tercapainya tujuan yang benar yang diumpamakan dengan “kekayaan”. Sang guru secara tersirat “menasehati” sishyanya bahwa pada permulaan setiap sadhananya (upaya bermeditasi arah Yang Maha Esa) sebaiknya dimulai dengan memfokuskan pikiran keisthanya yang berwujud (istha, simbol spritual atau dewa tertentu), lalu lambat laun baru ke Yang Tidak Berwujud, karena jalan ke Maha Esa Yang Tidak Berwujud itu sukar sekali dicapai bahkan oleh para resi dan yogi apalagi bagi para pemula. Pada zamannya Veda-Veda Hyang Agni dianggap sebagai wujud Yang Maha Esa secara nyata, dianggap juga pemegang semua bentuk kekayaan yaitu anugrah Yang Maha Esa. Dan kalau suatu saat nanti kita diperabukan melalui Agni, semoga yang terbaik dari kita menjadi persembahan kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa, dari mana kita semua berasal, diayomi dan dikembalikan kepadaNya. Om shanti shanti shanti, Om Tat Sat.
Pada saat kita dilahirkan wujud kita suci dan bersih, sewaktu kita mati, raga kita adalah segumpal bangkai yang baunya tidak tertahankan setiap orang ingin agar bangkai ini segera dikubur atau dikremasikan, harga babi mati lebih mahal dari mayat raja yang telah meninggal dunia. Jadi pada saat tersebut tidak mungkin kita bisa mempersembahkan yang terbaik kepadaNya kembali, kecuali mungkin amal perbuatan kita semua selama beryatra ke dunia ini. Semoga pesan para resi pengarang kitab suci ini sampai ke lubuk hati kita dengan benar.
Dengan ini berakhirlah karya suci Isavasya Upanishad.
Om shanti shanti shanti. Om Tat Sat.
Disarikan kedalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan m.s. berdasarkan skripsi-skripsi kuno dan tuntunan para guru di dunia ini dan di dunia-dunia lainnya. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Om Tat Sat.



sumber ::  http://shantigriya.tripod.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar