Kamis, 07 Juni 2012

KELAHIRAN SEORANG BHAGAVATA

                  Bab 02 - Kelahiran seorang Bhagavata




Maharaja Parikshit adalah putra Abimanyu yang telah mencapai surga para pahlawan. Ketika Parikshit masih berwujud janin yang tumbuh di rahim Uttara, ia melihat anak panah tajam yang dilepaskan oleh Aswathama meluncur ke arahnya. Senjata itu memancarkan percikan keganasan dan teror, siap membinasakannya, tetapi pada saat itu juga tampaklah tokoh yang cemerlang dan sangat mempesona bersenjatakan cakra yang dahsyat. Beliau menghancurkan panah maut itu menjadi seratus keping. Janin ninggrat itu diliputi kekaguman dan rasa terimakasih.

Ia memikirkan identitas penyelamatnya secara serius. “Siapakah Beliau? Pastilah Beliau juga tinggal dalam rahim ini bersamaku karena Beliau dapat melihat anak panah itu pada saat aku melihatnya! Tetapi Beliau demikian pemberani dan cekatan sehingga dapat menghancurkan panah itu sebelum mencapai aku. Apakah Beliau saudara kembarku? Bagaimana Beliau dapat membawa cakra itu? Bila Beliau dikaruniai cakra, mengapa aku tidak memilikinya? Tidak, Beliau bukan manusia biasa.” Demikianlah ia berdialog lama dengan dirinya sendiri.

Ia tidak dapat melupakan wajah itu, wujud itu. Beliau tampak sabagai anak laki-laki yang mulia dan cemerlang bak sejuta matahari. Beliau ramah, penuh kebahagiaan, dan biru bagaikan langit yang jernih. Setelah menyelamatkannya secara dramatis, Beliau menghilang. Wujud itu selalu terbayang dalam ingatan bocah Parikshit karena ia ingin melihat Beliau lagi. Siapapun yang dilihatnya, diamati dan diperiksanya dengan seksama untuk diselidiki apakah wujud itu mirip dengan wujud yang telah diukirkannya dalam benaknya dengan penuh rasa hormat.

Demikianlah ia tumbuh di dalam rahim sambil merenungkan wujud (Sri Khrisna). Renungan itu mengubahnya menjadi bayi yang perlu kecemerlangan. Pada akhir masa kehamilan, ketika ia lahir ke dunia, ruang bersalin diterangi oleh cahaya yang gaib. Para wanita yang membantu Uttara tercengang melihat kecemerlangan itu. Mereka bingung dan takjub.

Setelah pulih dari keheranannya, Subhadra, ibu Abimanyu menirim kabar untuk memberitahukan kelahiran itu kepada Yudhistira yang sulung diantara Pandawa. Bukan main senangnya Pandawa bersaudara ketika mendengar kabar gembira yang telah mereka nantikan. Meraka memerintahkan agar band memainkan musik dan senjata didentumkan untuk menghormati peristiwa itu karena seorang putra yang bakal mewarisi takhta Pandawa telah lahir dalam keluarga raja.


Orang-orang mendengar dentuman senjata dan berusaha mengetahui penyebab sukacita itu. Mereka segera berbondong-bondong menuju ke Indraprastha dengan penuh semangat. Setiap pelosok kerajaan dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap karena peristiwa ini. Dalam beberapa menit kota itu diubah menjadi taman surgawi, layak bagi para dewa untuk memberi darshan kepada manusia. Yudhistira membagikan aneka kue manis kepada semua yang datang. Ia menganugrahkan beberapa sapi sebagai hadiah bagi para brahmin. Ia memerintahkan para putri istana agar membagikan kotak emas penuh berisi saffron dan kumkum (serbuk kuning dan merah yang biasa dikenakan di dahi wanita) kepada para wanita. Kaum brahmin diberi kain sutra serta permata. Warga kerajaan sangat gembira karena dinasti junjungan meraka kini telah memperoleh pewaris takhta. Siang malam mereka bersukaria dalam kegembiraan yang meluap-luap.

Hari berikutnya Yudhistira memanggil Kripacharya, pendeta keluarga, dan menyelenggarakan upacara jaata-karma ‘pembersihan pertama’ bagi si bayi. Ia menyenangkan para brahmin dengan hadiah aneka permata yang mahal. Para cendekiawan dan pendeta merestui si bayi kemudian pulang.

Pada hari ketiga Yudhistira memanggil para ahli perbintangan terkenal, ahli rajah tangan, dan para peramal yang tersohor. Ia ingin sekali mengetahui apakah keharuman nama kerajaan dan kebudayaannya akan aman di tangan pangeran yang telah datang untuk memikul beban kerajaan ini. Ia menerima mereka di istana dengan sambutan tradisional; mereka diberi tempat duduk yang sesuai di balairung dan diberi hadiah wewangian serta kain sutera.

Raja membungkuk di hadapan mereka sambil mengatupkan kedua tangan memberi hormat, kemudian berlutut di depan mereka dan memohon, “Oh, kaum bijak yang mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa depan, periksalah horoskop bayi yang baru lahir ini, hitunglah posisi bintang-bintang, konstelasi, dan pengaruh berbagai planet yang akan menuntun hidupnya, kemudian katakan kepada saya bagaimana masa depannya kelak.” Dituliskannya jam lahir si bayi dan diletakkannya catatan itu diatas piring emas di hadapan mereka.

Para ahli mengambil catatan itu, menggambarkan bagan posisi planet-planet, dan mempelajarinya dengan cermat. Mereka saling menyampaikan rasa gembira yang semakin bertambah pada waktu mulai mengambil kesimpulan; mereka sendiri sangat gembira dan tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkan rasa takjubnya.

Akhirnya pendeta agung ketua kelompok itu bangkit dan berkata kepada raja Yudhistira, “Maharaja, sampai hari ini boleh dikata saya sudah memeriksa ribuan horoskop dan membuat bagan zodiak serta konstelasinya, tetapi harus saya akui, belum pernah saya menemukan kelompok planet-planet yang lebih baik dari yang tampak dalam horoskop ini. Disini semua pertanda baik telah berkumpul dalam satu saat, yaitu saat kelahiran pangeran ini. Sat itu menuynjukkan keadan Wisnu. Segala kebajikan akan terkumpul dalam diri anak ini. Mengapa menguraikan setiap kemuliaannya satu demi satu? Sang Manu yang agung telah datang lagi dalam dinasti Baginda.”

Yudhistira merasa bahagia karena dinastinya mendapat kemujuran ini. Ia benar-benar dilanda kegembiraan yng meluap-luap. Ia menangkupkan kedua tangannya dan menbungkuk dalam-dalam di hadapan para cendikiawan yang telah memberinya kabar yang demikian baik. “keluarga ini beruntung karena dapat menyatakan permata semacam ini sebagai keturunannya, berkat doa restu para sesepuh dan pendeta seperti Anda sekalian serta berkat rahmat Tuhan pelindung kami. Anda mengatakan bahwa anak ini akan mengembangkan segala kebajikan dan termashur dalam berbagai hal. Tetapi apakah guna semuanya itu jika ia tidak mempunyai sifat hormat kepada para pendeta, sadhu, dan para brahmin? Mohon horoskopnya diperiksa lagi dan katakan kepada saya apakah ia akan memiliki rasa hormat semacam itu?”

Pemimpin kelompok ahli perbintangan menjawab, “Baginda tidak perlu meragukan hal itu. Ia akan menghormati para dewa dan membantu para brahmin. Ia akan menyelenggarakan berbagai Yajna dan yaga yang disarankan dalam kitab-kitab suci kuno. Ia akan memperoleh kemuliaan yang didapat oleh Bharata, nenek moyang Baginda. Bahkan ia akan menyelenggarakan aswamedha. Ia akan menyebarkan kemasyuran dinasti ini ke seluruh dunia. Ia akan memperoleh segala sesuatu yang dihasratkan para dewa ataupun manusia. Ia akan mengungguli raja-raja pendahulunya.” Demikianlah kaum bijak itu menyanjung-nyanjungnya dengan berbagai cara sepuas hati mereka. Mereka berhenti karena takut mengeuraikan semua keunggulan itu; mreka khawatir dituduh membesar-besarkan dan menjilat bila terus menguraikan secara rinci berbagai kesimpulan yang telah mereka buat dari horoskop sang bayi.

Yudhistira tidak puas, ia ingin mendengar lebih banyak lagi mengenai keunggulan watak sang pangeran. Hasrat raja ini memberi semangat dan membesarkan hati para pendeta. Mereka berkata, “Tampaknya Baginda ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai peruntungan anak ini. Kami akan senang sekali bila dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus yang ingin Baginda ajukan.”

Melihat semangat mereka, Yudhistira maju dan berkata, “Dalam masa pemerintahan pangeran ini akan adalah peperangan yang besar? Jika peperangan tidak terelakkan, akan menangkah ia?” “Tidak,” kata para pendeta. “Ia tidak akan diganggu oleh musuh yang mana saja. Tidak ada kegagalan atau kekalahan dalam segala usahanya. Ini benar sepenuhnya. Kebenaran yang tidak tergoyahkan.”

Mendengar ini Yudhistira dan saudara-saudaranya Bhima, Arjuna, Nakula serta Sahadewa saling memandang dan berbagi rasa gembira yang tidak terhingga. Sementara itu Yudhistira mulai berbicara. Ia berkata, “Jika demikian halnya…,” tetapi sebelum ia menyelesaikan kalimat ini, ia menunduk dan tenggelam dalam pemikiran. Para pendeta melihat hal ini lalu berkata, “Tampaknya Baginda ingin tahu mengenai satu hal lagi. Silahkan katakan, kami siap menjawab semua pertanyaan.” Jawab Yudhistira, “tentu saja saya senang mendengar semua jawaban yang telah Anda berikan. Ia akan menjadi seorang yang bajik, ternama, jaya, mengungguli semuanya, pengasih, baik hati, dan memperlakukan semuanya secara sama rata; ia akan menyelenggarakan banyak yajna dan yaga tidak akan memusuhinya; Ia akan membawa kehormatan bagi dinasti dan memulihkan reputasinya. Semua ini membuat saya sangat senang. Tetapi…saya juga ingin tahu bagaimana ia menemui ajalnya.” Saudara-saudaranya melihat Yudhistira agak resah karena kecemasannya mengenai masalah ini membuatnya gelisah. Ketika mengejukan pertanyaan ini, bicaranya agak terbata-bata.

Mereka menghiburnya dan berkata “Mengapa mencemaskan hal itu sekarang? Ajal pasti akan datang entah kapan, entah bagaimana. Ini merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Ada suatu hal yang akan menyebabkannya, suatu keadaan yang mendatangkan hal itu. Kelahiran menyebabkan kemungkinan kematian. Kami khawatir kegembiraan yang luar biasa atas peristiwa ini membuat pemikiran Baginda agak aneh. Kami beranggapan cukuplah sekian saja. Selebihnya kita serahkan pada alam dan misteri, sebaiknya kita tidak menyelidiki lebih jauh lagi. Mari kita pasrahkan hal itu kepada Tuhan.”

Tetapi entah bagaimana Yudhistira tidak dapat menghilangkan keinginannya untuk mengetahui bagaimana pangeran yang ideal dan sarat dengan sifat-sifat baik ini akan mengakhiri kariernya di bumi. Ia membayangkan bahwa akhir kehidupan yang mulia itu pasti akan mengagumkan, maka ia ingin agar para ahli perbintangan mebeberkan hal itu kepadanya.

Para ahli membuat perhitungan lagi dan mengambil waktu agak lama. Ketika mengamati hal ini, raja menjadi gugup dan menyuruh mereka lekas memberikan jawaban. Mereka menyampaikan ramalan sebagai berikut. “Pangeran ini akan meninggalkan kerajaannya akibat kutukan seorang resi.” Yudhistira heran bagaimana teladan kebajikan sempurna semacam itu dapat menimbulkan kutukan seorang resi. Kemungkinan itu membuatnya amat terguncang.

Sementara itu para pendeta berkata, “perhitungan kami memperlihatkan bahwa ia akan digigit ular.” Mendengar ini Yudhistira berkecil hati. Segala kegembiraannya lenyap dalam sesaat. Ia menjadi amat sedih dan putus asa.

Besambung ke Bab 3 



sumber :: http://www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar