Senin, 18 Juni 2012

MUNDAKOPANISHAD

BAB I
  BAGIAN 1  
1.“Wahai para dewa sekalian, perkenankan kami senantiasa mendengarkan melalui telinga kami, hal-hal bersifat suci dan bersih; Wahai para dewata yang (kami) puja, perkenankan kami melihat hal-hal yang bersifat suci dan bersih. Perkenankan kami hidup sepanjang hidup kami yang telah ditentukan ini dengan sehat penuh ceria, dengan senantiasa memanjatkan doa puja-puji bagimu. Semoga Indra yang terkenal berasal dari kurun waktu nan silam, semoga Pushan (surya) yang mengetahui semuanya, semoga Vayu (bayu) dewa yang bergerak secara kilat, menyelamatkan kami dari berbagai bencana dan semoga Brihaspati yang melindungi harta spritual di dalam diri kami …. Mengkaruniai kami dengan kekuatan intelektual (budi) agar kami mampu memahami skripsi-skripsi suci dan dengan penuh semangat mempelajari ajaran-ajaran ini .” 
OM     SANTIHI ….. SANTIHI ….. SANTIHI 
Keterangan : Demikian karya sastra Mundakopanishad ini, yang konon kabarnya merupakan sebuah naskah kuno yang berasal dari zaman sebelum Ramayana dan Mahabrata ini dibuka dengan sloka mantra di atas. Para resi di zaman yang lampau selalu membuka sebuah ajaran kepada para sishyanya dengan memanjatkan doa-doa puja-puji kepada Yang Maha Esa atau dewa-dewi yang berhubungan dengan ajaran tersebut, agar diberi tuntunan, pengertian (budi, budhi) dan semangat yang membara demi memahami ajaran yang dianggap suci ini. Di era tersebut Yang Maha Esa di kenal sebagai Indra Yaitu Maharajanya para dewa-dewa di Swargaloka, beliau adalah Dewa Halilintar merangkap Dewa Api, juga sering berbentuk Surya yang dianggap mata Tuhan yang serba melihat dan tahu akan keadaan yang berlangsung di sekitarnya termasuk di bumi dan di jagat raya. Pada waktu itu Tuhan juga dikenal sebagai Vayu (Bayu) karena tanpa udara tentunya kita tidak mungkin hidup di dunia ini. Di berbagai bagian lainnya di India, Tuhan dimanifestasikan sebagai Baruna (dewa air), sebagai Shiva (pemilik setiap jiwa, pendaur ulang setiap jiwa), sebagai Brahma sebagai pencipta,sebagai Gayatri, Laksmi, Durga, Gangga, Saraswati, dan lain sebagainya. Pada kurun waktu yang berjalan ribuan tahun sebelum konsep Tuhan yang manunggal diabadikan, manusia-manusia dari berbagai belahan bumi di India memuja tuhan sesuai dengan budaya, nalar, fenomena alam dan budhi mereka sesuai dengan topografi, cuaca, produk-produk di daerah masing-masing yang mereka diami. Tidak mengherankan kalau wujud Yang Maha Esa di kenal dengan berbagai manifestasinya di permulaan asal muasal peradaban dharma, yang tanahnya kemudian di kenal dengan nama tanah Barata, asalnya di sebut bhumi. Mereka yang tinggal di sekitar Himalaya sesuai dengan lingkungannya bertuhankan Shiva dan Shaktinya, yang dekat dengan sungai Gangga memujaNya sebagai Gangga Dewi, yang makmur tanahnya memuja Beliau dalam bentuk Laksmi (Dewi Sri) dan sebagainya. 
Akhirnya suatu waktu kemudian semua ajaran ini diturunkan dalam berbagai bentuk Veda, Upanishad, Puranas dan sebagainya dan membaur, menyatu konsep Hindu Dharma yang kita kenal sekarang, yaitu kebinekaan dalam suatu kesatuan dan kesatuan dalam kebinekaan. Kata Santihi (shanti atau santih) adalah doa puja-puji para resi di zaman-zaman yang lampau yang masih kita gaungkan hingga kini karena bersifat suci bersih dan abadi, kata ini ditujukan ke Bhur, Bwah dan Swah dan segala isi dan manifestasinya yang beraneka ragam rupa, bentuk dan fenomena-fenomenanya (aneka rupa) yang dikenal sebagai Adi daivika, Adi bhantika dan Adi yatmik dengan menyandang berbagai sifat-sifat alami seperti Satva, Rajas dan Tamas. 
Tanpa para resi dan sishya maka sia-sialah berbagai ajaran suci dan agung ini, dan bayangkan bagaimana etika dan moral manusia di belantara kehidupan yang makin lama makin rumit dan biadab ini. India disebut sebagai craddle of civilization (asal-muasal peradaban umat manusia), dan sebenarnya kalau semua mau jujur juga adalah asal-muasal seluruh ajaran agama dan kepercayaan di dunia ini, dari berbagai ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, kedokteran. Mungkinkah dunia modern seperti ini tanpa partisipasi India?  Pertanyaan ini selalu menggoda sanubari kami pribadi.

 
2.“Diantara para dewata, Brahmaji, sang pencipta dan pelindung alam semesta ini lahir sendiri pada mulanya. Beliau mengajarkan ilmu pengetahuan akan realitas (Bramah-Vidya), ilmu pengetahuan dari seluruh ilmu-ilmu pengetahuan, dasar dari seluruh ilmu-ilmu fisika (science), kepada putra tertuanya, yaitu Atharva “. 
Keterangan : Dalam bahasa Sansekerta dikenal bentuk kata-kata maskulin, feminin dan juga dan juga bersifat keduanya yaitu yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan neuter gender. Kata atau sebutan Brahma dikenal sebagai ibu dan juga bapak (biseksual). Kalau diambil dari sisi maskulinnya maka dewa Brahma adalah salah satu dari Trinitas (Brahma Vishnu Shiva). Seandainya disebut Brahma (neuter gender) maka yang dimaksud adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang sebagai suatu zat yang bebas aktif tidak terikat oleh sifat-sifat apapun juga, walaupun adalah pencipta seluruh ciptaan-ciptaan termasuk Trinitas dan lain sebagainya. Brahma atau Brahmaji juga adalah ciptaan Beliau dan dilahirkan tidak melalui sperma dan indung telur, tetapi diproyeksikan sebagai manifestasi beliau Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan mengenai Yang Maha Esa dan berbagai aspek dan fenomenanya disebut Brahma-Vidya dan pertama kali diturunkan oleh Brahmaji kepada putranya Atharva. Ilmu ini menerangkan akan hakikat Yang Maha Esa (Brahman). Kata Brahman atau para Brahman disebutkan berbagai Upanishad untuk menerangkan Yang Maha Abadi dan Yang Maha Hadir (zat yang berupa suatu bentuk kesadaran dan kebenaran sejati). Ilmu yang agung ini telah diagung-agungkan semenjak ribuan tahun yang lalu di berbagai karya spritual suci dan dianggap induk dari segala ilmu di dunia ini. Ilmu ini juga menerangkan berbagai aspek dari Sang Atman itu sendiri, sebagai manifestasi dari sang para Brahma, keseluruhan ilmu ini (intinya) disebut Sarva Vidya Prastistha.
 
3.“Ilmu yang diturunkan ke Atharva oleh Brahmaji juga diajarkan ke para Angira di masa lampau; dan diajarkan juga ke salah seorang yang berasal dari keluarga Bharadvaja yang bernama Satyawaka, oleh Satyawaka ilmu ini diturunkan ke para Angira….demikianlah ilmu ini diturunkan dari para guru yang agung yang agung ke para sishya-sishyanya.” 
Keterangan : Guru sishya parampara (silsilah nama-nama para guru di masa yang silam yang menurunkan ilmu ini dari guru ke guru yang lainnya). Di sloka berikutnya ini akan kita dapati pendekatan oleh seorang sishya ke guru spritualnya agar diajarkan jalan spritual ini (salah satu dari Resi-resi Angira). Jawaban atau ajaran sang guru ini adalah ajaran agung dari Mundakopanishad ini.
 
4.“Saunaka, seorang kepala rumah tangga yang berbudi agung, berkunjung ke para resi-resi Angira dengan segala sopan-santun dan tata cara yang seharusnya dan memohon agar diajarkan akan : “Apakah itu, wahai guruku, yang seandainya dapat difahami maka semua ini akan terfahami.” 
Keterangan : Saunaka disebut sebagai seorang kepala rumah tangga yang berbudi luhur dan agung (mahasalah). Di zaman itu beliau dikenal sebagai seorang kaya raya dan sangat religius dan telah banyak membangun tempat pemujaan dan pengorbanan Vedik yang disebut Yajna Sala Agung. Suatu waktu karena didera rasa resah dalam meniti jalan spritualnya beliau mengunjungi gurunya dan memohon diajarkan akan jalan realitas ini.
 
Pada zaman tersebut seorang murid yang ingin belajar dari seorang guru spritual harus menghampiri sang guru penuh dengan etika dan tata cara yang berlaku disertai kepasrahan total dan akan berjanji tidak berargumentasi dengan gurunya. Para murid ini menyiapkan diri mereka untuk menjadi sanyasi dan menanggalkan yang serba duniawi dengan menghampiri guru-guru mereka berpakaian serba minim dan membawa serta 2 ikat ranting daun nim. Di tangan yang satu digenggam nim yang kering dan yang ditangan yang satunya lagi nim yang segar. Yang kering dipergunakan untuk api pengorbanan sedangkan yang segar untuk mengosok gigi. Daun nim rasanya sangat pahit tetapi efektif untuk berbagai keperluan kesehatan. Inilah simbol dari sanyasa, siap untuk menderita.
 
5.“Resi Angira berkata kepada Saunaka : “Ada dua jenis ilmu pengetahuan yang harus dipelajari, yaitu Apara dan para…..yang tinggi dan yang rendah (kadarnya). Demikianlah sabda resi-resi Upanishad yang telah memahami sang Brahman”. 
6.“Ilmu pengetahuan yang rendah sifatnya terdiri dari 4 Veda (Rig, Sama, Yajur, Atharva) dan enam Vedanga (yang terdiri dari Siksha (fonetik), Kalpa (tata cara berbagai ritual), Vyakarana (tata bahasa), Nirukta (etimologi), Chandas (metre) dan Jyotisha (astrologi). Ilmu pengetahuan yang tinggi sifatnya……adalah ilmu yang mengantarkan seseorang ke keabadian atau ilmu pengetahuan yang tak dapat dijabarkan oleh kata-kata maupun (arti-arti yang tersirat di dalam tata bahasa)”. 
Keterangan : Bukan saja anda yang akan terperangah dan heran karena ajaran Veda dan sebagainya, disebut berkadar rendah tetapi Saunaka sendiri pun bisa jadi sudah galau karenanya. Tetapi Beliau yakin gurunya tidak salah mengajarkan dan dengan rendah hati dan tanpa membantah Beliau mengikuti seluruh wejangan-wejangan ini secara penuh perhatian.
 
7.“Itu (Zat atau Beliau Yang Maha Esa) yang tak dapat disaksikan oleh mata, yang tak terjangkau, yang tidak memiliki asal-usul dan tidak berwujud; Itu yang tidak memiliki mata, kuping, tangan maupun kaki……yang bersifat abadi, penuh dengan berbagai manifestasi, yang maha hadir dimana saja, yang maha lembut diantara zat-zat yang terlembut, Beliau yang maha tak terbinasakan dikenal oleh kaum bijak sebagai sumber dari segala ciptaan.” 
Keterangan : Sloka mantra di atas dalam bahasa Sansekerta dianggap oleh sementara kaum guru di India sebagai definisi yang mendekati sempurna dari hakikat Yang Maha Esa. Bahkan dari segi tata bahasapun dianggap sangat indah dan ekspresif merupakan sloka mantra maha karya bangsa Aryan, ekspresi puncak dari ungkapan spritual mengenai perihal Yang Maha Esa.
 
8.”Ibarat laba-laba yang mengeluarkan jaring dan menariknya kembali ke dalam dirinya sendiri, ibarat tanaman yang tumbuh dari tanah, ibarat rambut yang tumbuh di kepala dan di tubuh manusia, demikian juga dari Yang Tak Terbinasakan diciptakan alam semesta ini,” 
Keterangan : Para resi di zaman yang lampau sering mengambil analogi atau perumpamaan dari alam dan fenonema alam itu sendiri. Yang Maha Esa itu hadir dan mencipta terus secara berkesinambungan, demikian juga proses alam semesta dan seluruh isinya yang senantiasa berinteraksi, tetapi manusia cendrung tidak melihat bukti-bukti nyata di depan mata, dan selalu mengharapkan muzizat yang bersifat instan.
 
9.”Melalui tapasya yang berkesinambungan, Brahmaji penuh dengan kebahagiaan memancarkan hasrat-hasrat kreatif demi penciptaan. Darinya terciptalah bahan-bahan makanan (tumbuh-tumbuhan), dari bahan makanan ini terciptalah prana, sang pikiran (mana), maha panca butha, dunia ini, hukum karma dan berbagai pahala (efek) dan akibat-akibatnya.” 
Keterangan : Kata pahala berarti buah atau hasil, dan buah itu bisa saja ranum, mentah, asam, busuk dan sebagainya. Kata pahala tidak berati efek yang baik seperti yang selalu terdapat di dalam ajaran agama lain, tetapi bisa berarti multi efek seperti diatas. Kata tapa atau tapasya sering dihubungkan dengan kata-kata tapa brata. Memang tidak salah, tetapi tapa brata hanyalah salah satu aspek dari tapasya yang luas sekali artinya, yang bisa juga diartikan sebagai pikiran yang dikonsentrasikan / konsentrasikan secara berkesinambungan ke arah Yang Maha Esa. 
Bunda Sruti (seluruh sistem Shastra Widhi Hindu Dharma disebut sebagai bunda Sruti) bersabda : “I kariyam param tapah”, yang berarti hasil perkembangan dari suatu tapa ke arah Yang Maha Esa adalah tapa yang utama. Sloka mantra di atas sebenarnya sangat sarat dengan arti, misalnya sang guru pasti menerangkan kepada para sishyanya bahwasanya Brahma atau Brahmaji diciptakan dari kekosongan (dalam Hindu Dharma Tuhan yang tak bisa diterangkan disebut Nirguna Brahman, yang bisa berarti nihil atau kosong). Kemudian Brahmaji karena bingung melihat kelahirannya sendiri bertapa selama jutaan tahun, baru kemudian dengan tuntunan Yang Maha Esa menciptakan jajaran alam semesta dengan segala isinya. Proses evolusi ini memakan jutaan tahun, bukan dalam satu hari bumi, tetapi mungkin saja dalam satu harinya sang Brahma di Brahma-loka yang berbeda jutaan tahun dari di bumi ini. Dari seluruh ciptaan ini satu planet kecil yang dinamakan bhur (bumi) ini terpilih untuk menjadi pusat penciptaan manusia, jadi bumi ini adalah salah satu loka dari berbagai loka-loka di alam semesta. Berbagai proses awal di bumipun berlangsung selama jutaan tahun, dari air dan lumpur tercipta daratan, mahluk-mahluk bersel satu dan seterusnya. Kemudian fauna dan flora dan setelah semua ini siap baru manusia berproses. Seluruh ciptaan dan fenomena serta proses yang berjalan sampai kini adalah teknologi maha karya, dan itu adalah tugas dari sang Brahmaji (Tuhan dalam bentuk Adi Daiva). Kata manusia berasal dari kata man (pikiran, manu = yang berpikiran, manus = banyak manu) manusia adalah bahasa Indonesia dari kata manus tersebut. Kalau seorang manusia tidak berpikiran alias tidak berbudi daya sebaiknya ia tidak menyebut dirinya manusia, kata orang jawa kuno orang tersebut masih bersifat telur, belum menetas, masih bersifat wong (orang) belum jadi manungso (manusia). Bahasa Inggris man atau men berasal dari kata manu tersebut diatas, demikian juga berbagai ilmu kedokteran, astronomi, kenegaraan dan lain sebagainya. Ribuan tahun yang lalu di kala manusia Hindu sudah berevolusi dan berbudaya tinggi manusia di belahan barat masih bersifat biadab dan berperi laku seperti binatang. Mantra Sloka diatas secara singkat berusaha menerangkan bagaimana teori evolusi berkembang jutaan tahun yang lalu,dunia barat baru puluhan tahun ini mengembangkan teori ini dan mengkonfirmasikannya, tetapi selalu yang mendapatkan hadiah nobel adalah orang-orang barat padahal selama ini ilmu ditimba dari timur. Karena kebodohan dari timur ditambah kemiskinan dan terus menerus dijajah secara ekonomi maka manusia di timur selalu mendambakan kehidupan seperti di barat, padahal seluruh teknologi dan kemakmuran ekonomi mereka ternyata menimbulkan stres berat bagi mereka karena mereka telah kehilangan hakikat dan tujuan spritual dari kehidupan ini. Kehidupan di barat sebenarnya amat menyengsarakan mereka.
 
10.”Dari Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa, Realitas Yang Maha Utama)…..yang tidak saja sadar akan seluruh kejadian di dunia ini, tetapi juga mengamati dan mengetahui setiap perihal kejadian-kejadian ini secara terperinci setiap menitnya, yang pikirannya bersifat ilmu pengetahuan……terciptalah seluruh ciptaan ciptaan ini : sang pencipta, berbagai nama dan rupa (bentuk) dan berbagai kebutuhan hidup bagi semua ciptaan ini.” 
Keterangan : Sloka mantra ini mengakhiri bagian satu dari bab I ini, semoga sidang pembaca dapat menghayati isi mantra sloka ini secara baik.
 
Om Tat Sat. 
Dengan ini berakhirlah Bab I, Bagian 1 dari karya Agung ini.
 
 
BAB I
BAGIAN 2 
1.“Berbagai jenis karma yang ditemukan (dipelajari) oleh para kaum bijak, yang terdapat di dalam berbagai mantra adalah temuan yang benar dan dilaksanakan di zaman Treta (terdapat di berbagai Veda) laksanakanlah berbagai karma ini berdasarkan hasrat-hasrat yang benar. Inilah caramu untuk mencapai berbagai pahala dari karma-karma ini.” 
Keterangan : Setelah menerangkan tentang ilmu yamg rendah dan tinggi sifatnya di bab yang lalu, di bab ini sang resi mulai menjabarkan penghayatan dan pelaksanaan ilmu yang rendah ini dengan berbagai pahala dan karma yoganya. Berbagai Veda muncul di Zaman Treta, oleh sebab itu zaman Treta juga di kenal sebagai zaman Veda. Upacara-upacara dan berbagai mantra yang ada di berbagai Veda seandainya dilakukan dengan baik akan menghasilkan berbagai pahala positif, Tetapi kalau diikuti dengan pamrih dan hasrat-hasrat tertentu maka sang pelaksana harus memakan karma-karmanya sendiri dimasa-masa mendatang. Ingat tidak ada yang gratis di dunia ini, semua jajaran dewa dewi harus diberi imbalan, apalagi asuras yang membutuhkan hewan dan korban manusia terutama sang….pelaksana dan anak kerabatnya sendiri. Bencana menyusul selalu membayangi para pemuja asura dan dewa-dewi yang ingkar janji dan melupakan mereka, sekali terjerat dengan berbagai upacara konsumtif, mecaru dan sebagainya. Maka kenikmatan dan kesenangan yang di timbulkan hanya bersifat sementara saja, begitu tidak diteruskan bencana datang melanda, lalu terulang lagi dan lagi semua upacara penuh pamrih ini dan akhirnya sang pelaksana dan anak turunannya menjadi korban karmanya sendiri. Sebaiknya bersyukur untuk setiap napas kita kepada Yang Maha Esa dan memuja sesuai dengan kodrat kita tanpa pamrih lagi; akan menghasilkan karma yang terutama yang selalu menjadi karunia bagi sang pemuja yang sederhana sifatnya ini.
 
2.“Sewaktu agni (api) mulai dinyalakan dan bara api mulai bergerak, maka sebaiknya sang pemuja menghaturkan pujaan dan sesajen penuh dengan iman; ditengah tengah kedua bagian api suci ini ghee (mentega murni) harus dituangkan.” 
Keterangan : Sloka mantra ini bermakna ganda. Arti yang pertama adalah tata cara pelaksanaan sejenis agni hotra pada umumnya. Arti kedua bermakna bahwasanya kehidupan Yang ibarat api yang selalu membara ini sebaiknya di seimbangkan dengan mengambil jalan tengah. Ingat api kalau kecil bersahabat dan sangat berguna untuk kebutuhan ini, kalau besar mendatangkan bencana. Di sloka-sloka berikutnya kita akan memahami betapa upacara dan ritual yang penuh pamrih sebenarnya sarat dengan penderitaan bagi yang melaksanakannya.
 
3.“Seandainya upacara agni hotra yang dilaksanakan seseorang tidak disertai dengan: 
1.Pengorbanan untuk hari tilam (darsa) dan hari purnama (purnamasa), 2.Dengan caturmasa (upacara setiap 4 bulanan), 3.Dengan Agryana (upacara menyambut musim gugur); ataupun sekitarnya upacara tersebut tidak dihadiri oleh seorangpun, ataupun tidak dilaksanakan pada saat yang tepat ataupun dilaksanakan tanpa pemujaan kepada Visvadevas, ataupun tidak dilakukan secara penuh disiplin sesuai dengan berbagai kaidah yang terdapat di Veda-Veda……maka kemudian yang akan terjadi adalah, akibat dari pelaksanaan karma tersebut, 7 dunia sang penyelenggara upacara ini akan hancur.”
 
Keterangan : Kata 7 dunia di sloka ini sebenarnya bisa diartikan sebagai 7 generasi ke atas atau 7 generasi ke bawah dari sang penyelenggara agni hotra ini, contoh : ayah, kakek moyang dan seterusnya ataupun sebaliknya, contoh : putra, cucu, cicit, dan sebagainya. 
Pada kenyataannya menurut karya sastra Upanishad ini sebenarnya upacara-upacara keagamaan bisa berbahaya bagi sipelaku upacara atau bagi si penyelengara itu sendiri kalau salah pelaksanaannya dan bermotivasi penuh pamrih. Di berbagai daerah di India, Bali dan yang lain-lainnya sampai kini masih banyak upacara termasuk mecaru yang dilakukan para pendeta dan pemangku dengan alasan dapat menaikan derajat para fauna tersebut di masa-masa yang mendatang, ternyata Upanishad ini berserta berbagai sastra Vidhi menjauhi hal-hal kejam tersebut karena penuh dengan resiko spritual yang tinggi disamping tidak berdasarkan welas-asih. Memang di zaman purana, masih penuh dengan upacara semacam ini, karena daya nalar dan budhi manusia masih terbelakang, tetapi semenjak zaman Upanishad Sanatana Dharma memasuki babak baru spritual yang sadar akan keberadaan Yang Maha Esa, yang penuh dengan kasih sayang yang tidak terhingga yang tidak memerlukan caru hewan lagi. Bhagavat-Gita yang murupakan pedoman suci kita semuanya sudah tidak menganjurkan hal tersebut lagi. Zaman purana, Veda-veda sudah berlalu, namun hal-hal yang masih berguna sampai sekarang silahkan dijadikan pedoman, tetapi yang sudah bertentangan dengan Upanishads dan Bhagavat-Gita sudah bukan pedoman lagi, demikian sudah diputuskan dari zaman Mahabrata setelah Pandawa menang perang, jadi bukan hal baru lagi. Lagi pula Aswa-medha yang di selenggarakan oleh Yudhistira ternyata pahalanya kalah dengan yang yang di lakukan oleh 4 orang Brahmana miskin yaitu dengan membagikan 4 mangkuk bubur sederhana kepada Yama-dewa yang menyaru sebagai seorang Brahmana yang kelaparan. Kalau kemudian tidak mau sadar akan hakikat ini silahkan kembali ke zaman purana, tetapi sebagai manusia sudah tidak layak disebut insan karena sudah berperi laku setengah binatang!
 
4.“Ketujuh lidah api yang membara adalah : Kali (Dia yang berwarna hitam), Karali (Dia yang berbentuk menyeramkan), Manojawa (Ia yang cepat ibarat sang pikiran), Sulohita (Ia yang berwarna merah tua), Shudumravarna (Ia yang berwarna mirip warna asap), Spulingini (Ia yang bercahaya berbinar-binar), dan Viswaruchi (Ia yang berganti-ganti). 
Keterangan : Sekali lagi muncul istilah api yang menyiratkan Yang Maha Kuasa dalam bentuk cahaya yang berbeda-beda yang seharusnya menjadi tujuan dari meditasi kita. Tentu saja makna api ini bisa berbeda dari satu guru ke guru yang lainnya, misalnya bisa disebut : Dipa, Jyoti, Agni, Devas, dan sebagainya. Ada juga yang sangat bernilai spritual seperti ”mata ketiga:, dan ini sangat misterius karena membutuhkan tuntunan guru yang teramat piawai.
 
5.“Barang siapa menghaturkan upacara ini ke bara api yang menyala terang….maka yang dihaturkan ini akan menghantarkan sang pemuja ini ibarat cahaya mentari yang menuntun seseorang ke sebuah loka di mana bersemayam Indra, Dewanya para dewa.” 
Keterangan : Bagi kaum awam sloka ini akan membingungkan sekali, berikut ini adalah penjelasannya. Di sloka sebelumnya yang di bicarakan adalah bersifat karma kanda dan berbagai efefk-efeknya, kemudian di sloka ini Sang Surya diibaratkan sebagai penuntun seorang pemuja ke Swargaloka. Sebelum zaman Bhagavat-Gita, sang surya masih dianggap tuhan dan sering di sebut Pushan, karena sedemikian pengaruh surya ke bumi ini. Hatha yoga saja bagian paling utamanya dipersembahkan ke surya dengan sebutan Surya Namaskar dan sampai kini adalah yoga paling populer dan menyehatkan raga. Ada juga meditasi khusus yang di persembahkan sampai kini oleh guru-guru tertentu yang di sebut Suryo Pasana, yang dapat menimbulkan energi dashyat bagi yang melakukannya. 
Menurut Prakriya Vedantik, setiap indriya tubuh kita dijaga oleh seorang dewa dan mata kita ini dijaga Surya yang tanpa cahayanya kita semua akan buta seperti fauna yang ditemukan di dalam gua tanpa cahaya atau di kedalaman lautan yang tak tertembus oleh sinar matahari. 
Telinga didominasi oleh dewa antariksa dan seterusnya, seluruh tubuh dan sistem cakra tubuh dijaga dengan ketat dan berfungsi karena dan oleh para dewata yang merupakan motor-motor kecil dari seluruh sistem cakra, persendian, urat-urat syaraf di raga kita. Kata dewa/dewata itu sendiri bermakna banyak seperti :
a.      yang bercahaya atau pemberi (pembawa) cahaya.
b.      Yang memberi kekayaan.
c.      Yang memperhatikan kesehatan.
d.      Yang menunjukan jalan.
e.      Yang membuat orang atau benda lain bersinar.
f.        Yang menyenandungkan nada-nada musik.
Di bagian lain ajaran Hindu Dharma raja atau pemimpin dari berbagai indriyas adalah sang pikiran yang diibaratkan sebagai Dewa Indra, yaitu rajanya para dewa. Karena tubuh manusia adalah buana alit dan alam semesta adalah buana agung, maka seluruh jajaran dewa-dewi dan elemen yang hadir di buana agung itu hadir di buana alit ini secara sempurna. Kalau di alam sana Dewa Surya adalah penuntun para dewa ke alam Yang Maha Esa, maka di raga kita mata menuntun kita ke arah dhyana dan membawa kita ke Sang Atman. Indriyas dalam bahasa Sansekerta selain berarti organ-organ tubuh juga berarti “anak-anak” atau ponggawa. Semoga penjelasan ini bisa menyiratkan secara lebih baik arti dari sloka di atas.
 
6.“Datanglah kesini, datanglah kesini, ”demikian sabda bara api (persembahan) kepada sang pemuja, dan membawanya melalui berkas-berkas cahaya Sang Surya sambil bertutur sapa penuh kata-kata puja-puji baginya: ini adalah loka suci Sang Brahman (yang telah dikau hasilkan) berkat pekerjaan-pekerjaan baik yang telah dikau laksanakan.” 
Keterangan : Sloka di atas masih berhubungan dengan ajaran Agni-hotra, dan terkesan masih adanya pahala yang besar bagi sang pelaksana Agni-hotra ini dan diibaratkan bahwa setelah seseorang penyelenggara Agni-hotra ini meninggal dunia nanti, maka ia akan melalui berkas-berkas cahaya Sang Surya dan jiwa raganya akan dituntun ke Brahma loka untuk mencicipi karma baiknya hasil dari pekerjaan-pekerjaan baiknya selama ia berada di dunia ini. Tetapi coba resapi dan hayati sloka berikutnya ini
 
7.“Perahu Yajna ini bersifat sangat rapuh (adradha), dikemudikan oleh delapan belas pengemudi yang tanpa mereka upacara ini tidak akan berarti. Orang-orang bodoh yang berbahagia karena menganggap ritual ini sebagai hal yang tertinggi, akan kembali mengalami masa tua dan kematian secara berulang-ulang.” 
Keterangan : 18 pengemudi (unsur) Yajna Agni-hotra adalah : enam belas pendeta yang disebut ritviks, lalu 2 pengurus rumah tangga yaitu yang disebut Yajamana dan istrinya. Bagi yang melaksanakan Agni-hotra demi suatu kaul atau hasrat duniawi maka kedelapan belas unsur ini harus disebut di upacara tersebut, tanpa kehadiran mereka Yajna tersebut tidak memenuhi syarat. Harap diingat semua ritual duniawi ini tetap menghasilkan reinkarnasi dan derita karena tidak ada yang gratis di dunia ini. Hasil dari berbagai Agni-hotra dan ritual-ritual yang borospun bersifat sementara saja dan tidak pernah abadi.
 
8.“Manusia-manusia yang terpesona ditengah-tengah kebodohan mereka ini, tetapi merasa bahwa mereka adalah insan-insan bijak dan terpelajar, mereka ini akan berputar-putar kesana kemari dan menderita ibarat orang buta yang dituntun oleh orang yang buta.” 
Keterangan : Sindiran dan pesan yang sama ini juga hadir di Kathopanishad, Brihadaranyakopanishad, Bhagawatha-Purana, dan sebagainya. Berbagai ritual yang sia-sia hanya mengantarkan kita kearah kebodohan spritual, tetapi pelaksanaan dharma sehari-hari lebih bermanfaat.
 
9.“Terbungkus oleh cara-cara yang bodoh, orang-orang ini berpikir secara kanak-kanak bahwa mereka telah menghasilkan pahala dan bahkan tujuan terakhir didalam kehidupan ini. Namun terikat oleh berbagai nafsu dan keterikatan duniawi, mereka ini (sebenarnya) tidak pernah menggapai ilmu pengetahuan, dan kemudian mereka jatuh terjerumus secara menyedihkan, sewaktu pahala dari berbagai kebajikan mereka usai waktunya.” 
Keterangan : Ternyata masih banyak pendeta, pemangku, orang-orang suci yang berjubah spritual masih saja diliputi oleh kegelapan dan kebutuhan duniawi sehingga tanpa mereka sadari sebenarnya mereka masih di situ-situ juga.
 
10.“Orang-orang yang bodoh ini, walaupun telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan dan kerja-kerja sosial utama, sebenarnya tidak memahami jalan lain untuk mendapatkan Karunia Yang Maha Esa. Setelah menikmati swargaloka yang penuh dengan berbagai kenikmatan, mereka kembali lagi ke dalam kehidupan ini sebagai manusia atau bahkan ke dalam bentuk kehidupan-kehidupan yang lebih rendah sifatnya.” 
Keterangan : Jadi sorga bukan jaminan buat kita semua bahwa setelah itu kita akan lebih suci jadinya, ternyata begitu karma pahala kita di sorga habis masanya kita kembali menikmati neraka dan penderitaan, yang lebih runyam lagi bisa-bisa lahir ke bentuk-bentuk yang sangat rendah derajatnya. Faktor ini harus jadi pertimbangan untuk kita semua. Di Mahabrata dikisahkan setelah Pandawa dan Kaurawa meninggal dunia ternyata para Pandawa juga harus melalui neraka dulu untuk menetralisir dosa-dosa mereka, jadi upacara Megah Aswa Medha apa gunanya? Bukankah upacara tersebut untuk membersihkan dosa-dosa para Pandawa, dan semuanya yang gugur di Kurushetra ? Tanpa berpedoman kepada Smritis dan Srutis bisa-bisa seluruh penalaran agama kita menjadi kacau-balau.
 
11. “Tetapi mereka-mereka yang melaksanakan berbagai tapa, dan sradha di hutan, yang telah mengendalikan indiryas mereka, yang berilmu pengetahuan dan hidup sebagai orang-orang suci, pergi melintasi jalannya (orbit) sang surya, kebajikan dan kebatilan mereka musnah, mereka pun mencapai loka di mana bersemayam Sang Purusha Yang Bersifat Abadi dan Tak Pernah Layu dimakan oleh sang waktu.” 
Keterangan : Jalan atau orbit sang surya (surya dwarina) adalah rute perjalanan sang jiwa setelah kita meninggal dunia. Ada 2 jalan yaitu yang kesatu melalui jalur Chandra (rembulan) dan yang kedua jalurnya sang Surya. 
Jalur Surya disebut Utarayana dan jalur rembulan disebut Dakshinayana. Melalui jalan surya orang-orang yang baik mencapai Brahmaloka dan berbagai sorga lainnya dan kemudiaan begitu masa hidup di sorga-sorga tersebut habis, mereka kembali ke dunia ini atau berinkarnasi  sesuai dengan karma mereka. Pembebasan murni atau yang disebut ”Kaivalya Mukti” atau Sadyomukti (pembebasan langsung), hanya bisa dicapai oleh individu-individu tertentu seperti Buddha, Guru Nanak, Sankara Acharya, Ramakishna Parahamsa dan lain-lain. Beliau para resi dan utusan-utusan Yang Maha Esa ini ada yang jasadnya sirna begitu saja, ada yang meninggal dunia dalam meditasi. Mahatma Gandhi walaupun dibunuh sudah menyatakan kematiannya beberapa hari sebelumnya. Di samping para kaum awam yang amat berbakti juga bisa mengalami kematian yang tenang ini.
 
12.“Sebaiknya seorang Brahmana (pemuja), setelah mempelajari berbagai loka yang telah dicapainya melalui jalur karma, mencoba untuk mencapai kebebasan dari berbagai keinginan, sambil merenungkan bahwa tiada sesuatupun yang bersifat abadi itu dapat dicapai melalui jalur karma. Sebaiknya ia dalam mencapai ilmu pengetahuan abadi ini, membawa air pengorbanan (samitpanih) di kedua tangannya dan mempersembahkan tirta ini kepada seorang guru spritual yang piawai, yang sarat dengan pengetahuan tentang Veda dan telah bersatu dengan Sang Brahman (Yang Maha Esa).” 
Keterangan : Secara spritual seorang sadhaka (pencari kebenaran), atau seorang sishya di jalan spritual yang sedang mempelajari dharma disebut Brahmana juga. Seseorang tidak begitu saja tertarik untuk masuk ke jalan spritual ini. Menurut ajaran Sanatana Dharma biasanya masa-masa lalunya yang mendorong insan tersebut untuk lebih progresif lagi di kelahiran selanjutnya. Sloka di atas menyiratkan bahwa seorang sishya yang pernah hidup di loka-loka yang pernah dicapainya, dalam kehidupan selanjutnya bisa mendapatkan seorang guru yang akan membawanya ke strata yang lebih tinggi dan bukan ke sorga atau loka-loka yang pernah dicapainya, karena sorga-sorga ini tidak abadi sifatnya. Untuk berguru ada syarat sederhana yaitu dengan membawa air dan mencuci kaki gurunya sebagai tanda pemasrahan diri secara total. Guru yang dimaksud haruslah seorang yang betul-betul tanpa pamrih dan teramat luas pengetahuannya.
 Biasanya bagi yang sudah ”jodoh” atau yang memang memiliki karma khusus antara guru dan murid, maka jalinan spritual mereka pun akan sangat khusus sekali, kemudian ada golongan murid-murid biasa yang umumnya belajar ke sang guru untuk lebih maju bidang materinya dan berbagai alasan lainnya. Untuk jenis golongan yang kedua ini sang guru tidak akan menurunkan kesaktian maupun pembangkitan spritualnya. Guru yang teramat bijaksana ini sulit didapatkan, tetapi masih banyak yang eksis dan tidak terkesan sebagai guru spritual karena ibarat padi yang makin bunting akan makin merunduk, demikian juga insan-insan yang suci, tidak mau menampilkan diri mereka secara sejati dan di zaman kali ini mereka hidup seperti manusia lainnya, bekerja sehari-hari dalam berbagi kegiataan.
 
13.“Kepada sang sishya yang telah menghampirinya penuh dengan rasa hormat, yang jalan pikirannya telah tenang dan yang berbagai indriyasnya berada dalam keadaan terkendali, maka kepadanya, oleh seorang guru yang baik diajarkan Brahma Vidya (ilmu pengetahuan tentang hakikat Sang Brahman) secara benar, melalui ajaran ini sang murid  akan mengerti arti sebenarnya akan Sang Purusha Yang Maha Abadi dan Hakiki.” 
Keterangan : Sruti mengisyaratkan bahwa guru spritual yang bijak dan suci dan berkwalitas memerlukan murid yang baik dan begitupun sebaliknya. Dengan memahami hakikat Yang Maha Esa dari guru semacam ini maka seseorang tidak perlu lagi ke Brahma loka yang menjadi dambaan banyak insan di dunia ini karena loka tersebut juga punya masa habis. Guru yang suci bisa menuntun seseorang langsung ke Yang Maha Esa dan menyatu dengannya. Seandainya kita sadar bahwasanya bumi ini adalah sebuah sekolah  spritual yang terbaik di alam semesta ini, dan dilahirkan sebagai manusia ini sebenarnya merupakan evolusi spritual bagi sang jiwa itu sendiri dalam melanglang buana dari satu kehidupan ke hidupan yang lainnya maka insan tersebut akan terbuka ”mata ketiganya” dan sadar betapa mulianya ciptaan Tuhan yang disebut manusia ini.
 Dengan ini berakhirlah Bab I, Bagian ke II
  
BAB II
BAGIAN I
1.“Ini adalah kebenaran; ibarat percikan api yang berjumlah ribuan dan berbentuk sama dan memancar keluar dari bara api, demikian juga dari Yang Maha Abadi lahirlah berbagai bentuk jiwa muda dan mereka kemudian mencari jalan kembali ke asalnya.” 
Keterangan : Kalau di dalam bab I diuraikan secara panjang lebar berbagai fenonema akan “ilmu yang rendah” ini, maka di bab II ini akan diterangkan berbagai penjelasan akan ilmu yang bersifat maha ini. Namun begitu menerangkan Hakikat Yang Maha Esa dengan sarana bahasa seberapapun canggihnya dan indahnya masih saja tetap kurang dan tidak akan mampu mengungkapkan keagunganNya karena beliau ini memang serba maha dalam berbagai aspek.  Mundakopanishad pun berusaha sebisa mungkin, selanjutnya terletak pada intuisi, nalar dan kemampuan serta persiapan kita dalam memahami ajaran Upanishad ini yang pernyataan-pernyataannya bisa terkesan sangat kontroversial. 
Adalah suatu perihal kebenaran bahwasanya kita semua berasal dariNya dan diayomi olehNya untuk kemudian kembali kepadaNya juga, ibarat percikan-percikan api (yang juga) adalah api itu sendiri yang berasal dari bara api kemudian menghilang dan mencari jalan kembali keasalnya.
 
2. “Bercahaya sendiri (Divyo), tanpa bentuk, tanpa asal mula dan hakiki, Yang Maha Hadir ini bersemayam di dalam dan di luar (setiap benda dan mahluk), permulaan dalam (setiap) kehidupan dan pikiran; Beliau melampaui bahkan yang tergaib, yang tak bermanifestasi, Beliau adalah asal-muasal alam semesta ini.” 
Keterangan : Seandainya semua jiwa di alam semesta adalah percikan-percikan api lalu konon seperti apakah bara api itu sendiri. Upanishad yang satu ini sedang menjabarkannya secara terperinci. Yang Maha Esa di sloka mantra di atas disebut Divyo yang berarti bercahaya melalui cahaya yang berasal dari diriNya sendiri yang tak terangkan. Berbagai ajaran dan kepercayaan lainnya mrenyiratkan Yang Maha Esa dalam bentuk api, cahaya, nur, dan sebagainya. Yang kesemuanya ini tak mampu dijabarkan kecuali dihayati. Sang Maha Cahaya ini bersifat Hakiki dan merupakan asal muasal seluruh alam semesta dan isinya, dan juga hadir di tengah-tengah ke dua alis mata kita (Apo Jyoti) dan menjadi fokus meditasi para sadhaka di jalur Dhyana Yoga.
 
3.“DariNya lahir Prana (kehidupan), pikiran, berbagai organ tubuh, Akasa (ether), angin, api, air dan bumi yang menyanggah semuanya ini.”
Keterangan : Dari sloka mantra ini jelas sekalli diterangkan bahwa seluruh penunjang kehidupan ini dan berbagai produk kehidupan lahir atau tercipta dari Sang Brahman dan bumi ini dipersiapkan untuk menyanggah dan mengayomi dan melahirkan (menciptakan) berbagai produk-produk kehidupan baru secara berkesinambungan, seperti manusia, mahluk halus, fauna, flora, kuman, virus, dan sebagainya. Bumi juga memelihara dan mengembang-biakkan semua ciptaan ini secara berkesinambungan dan penuh dengan ”welas asih” yang diimbangi dengan hukum alam itu sendiri. Dalam Sanatana Dharma, Manifestasi Tuhan diwujudkan dalam tiga elemen utama yaitu, Bhur (bumi), Bwah (alam semesta dan segala isinya ), Swah (kekosongan yang menyelimuti alam semesta dan segala isinya ini, termasuk bumi). Khusus berbicara tentang bumi pertiwi ini, maka dibutuhkan evolusi selama jutaan tahun untuk berubah seperti dewasa ini; khusus untuk penciptaan manusi bumi harus bekerja keras dalam mempersiapkan seluruh sarana yang dibutuhkan oleh manusia ini seperti fauna dan flora yang lengkap, belum lagi lima elemen maha panca butha dan sang jiwa itu sendiri. 
Dalam Sanatana Dharma bumi adalah wujud dari Yang Maha Esa itu sendiri dan disimbolkan sebagai sebuah titik paling atas di simbol OMKARA, kemudian baru bulan sabit (simbol alam semesta), kemudian lengkungan di sebelah kanan huruf/aksara 3 yang melambangkan kekosongan antariksa. Ketiga unsur ini disebut AUM, A = Brahma, Pencipta, Kekosongan : U = Vishnu, Pengayom, Alam semesta ; M = Shiva, Pendaur ulang setiap jiwa, Bhumi. AUM juga disebut Tri-loka, dikenal juga sebagai Tri-Shakti :  Saraswati, Laksmi dan Durga, AUM juga adalah Ganeshya, yang melambangkan ilmu pengetahuan duniawi (gading yang retak) dan ilmu pengetahuan yang sejati (gading yang sempurna). Tidak ada upacara dharma yang dilakukan tanpa memulai mantra dengan OM (AUM) dan diawali dengan mantra Ganeshya yang adalah dewanya para dewa. 
Kembali ke bumi, maka beliau juga dikenal sebagai ibu atau bunda (Mariaman) dalam bahasa Tamil (Dravidia), dengan kata lain bumi itu adalah perwujudan dari Tuhan itu sendiri dalam bentuk ibu. Itulah sebabnya bumi dimanifestasikan sebagai Saraswati yaitu Dewi dari kultur budaya, peradaban, sastra-widhi, Ilmu pengetahuan, rasa keindahan dan kasih sayang dan sebagainya. Bumi juga dimanifestasikan sebagai Laksmi  yaitu Dewi Kemenangan, Sri  Dewi kemakmuran dan kejayaan. Bumi juga dimanisfestasikan sebagai Dewi Durga, Perthiwi, Uma. Juga sebagai Kali dan keseluruhan dari dewi-dewi ini adalah Gayatri, yaitu ibu alam semesta yang bertubuh satu tetapi berkepala lima, masing-masing Saraswati, Laksmi, Parwati, Durga dan Kali. Gayatri adalah Sang Maya, Ilusi Ilahi Tertinggi yang membawa kita ke Sang Purusha, yaitu sang bapak, Yang Maha Esa itu sendiri. Tuhan dalam bentuk ibu menuntun kita keTuhan dalam bentuk Bapak, kemudian melebur jiwa kita ke dalam dirinya yang diatas kedua unsur tersebut, inilah yang disebut Manunggaling Kawula Gusti yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. 
Gayatri adalah juga mantra tertinggi yang merupakan sari pati dari 108 Upanishads yang dilambangkan dengan Ganatri (tasbih), dan kekosongan atau nol di dalam lingkaran tasbih itu melambangkan Omkara. Tanpa disadari kita semua, seluruh ajaran mengenai bumi ditiru oleh ajaran-ajaran lainnya dan hampir semua doa, sholat, sembah, puji-puji selalu mengarah dan menyentuh bumi dengan berbagai gaya dan cara. Tasbih yang adalah lambang bumi dan alam semesta menjadi tasbih bagi semua umat seperti umat katholik, Islam, Buddhist, Tao dan sebagainya.
 
5.“Darinya diciptakan langit (api yang pertama) yang bahan bakarnya adalah mentari (surya); dari rembulan diciptakan awan (api yang kedua); dari awan (curah hujan) diciptakan tumbuh-tumbuhan di atas bumi (api yang ketiga), dari ini semua,diciptakan pria (api yang keempat), yang memancarkan air maninya ke rahim wanita (yoni) atau api yang kelima, demikianlah berbagai bentuk kehidupan ini dilahirkan dari Sang Purusha.” 
Keterangan : Sloka mantra di atas adalah laporan tangan pertama dari ”iptek” yang ditelusuri secara spritual oleh para resi guru di zaman-zaman yang lampau. Dunia barat baru sadar beberapa abad yang lalu mengenai hal-hal ini. Dapat dibayangkan betapa canggih dan majunya budaya Sanatana Dharmaini di masa-masa yang lalu yang mencakup hampir semua bidang kehidupan termasuk kedokteran, astronomi, dan sebagainya. Dari segi spritual berbagai api ini bermakna sangat sakral dan merupakan ilmu pengetahuan tersendiri, demikian pesan para resi guru. Di Chandogya-Upanishad, terdapat ajaran yang disebut “meditasi kelima bentuk (rupa) Agni”. Bagi yang memahaminya Upasana ini tersirat di sloka mantra diatas. Di India dan juga di Indonesia pada masa yang silam (yang masih dilakukan oleh beberapa kalangan aliran kepercayaan sampai kini) terdapat beberapa berbagai bentuk Upasana seperti meditasi dengan memanfaatkan prana dari Sang Surya, dari rembulan (disebut kum-kum), prana lautan, sungai, sumur, kolam, dan sebagainya seperti prana bumi, prana suara (ning), prana ether,dan juga gabungan dari berbagai prana ini seperti cahaya surya dan prana lautan. Upasana yang sama dapat menghasilkan ilmu hitam seandainya dilakukan secara sembarangan atau dengan tujuan kebatilan. 
Dari hujan tumbuhlah berbagai tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-tumbuhan ini setelah dimakan mahluk hidup terciptalah sperma. Ini disebut hubungan langsung antara tumbuh-tumbuhan dan mahluk hidup tersebut. Hubungan yang tidak langsung adalah tumbuh-tumbuhan tersebut dimakan oleh binatang seperti kambing, sapi, dan sebagainya. Dan kemudian binatang atau hewan ini disantap oleh manusia atau hewan lain. Produk sperma yang tidak langsung bersifat hewani bagi hewan dan bagi manusia bisa bersifat hewani atau setengah hewani. Jadi dianjurkan untuk bersantap sajian vegetarian agar didapatkan turunan yang satvik sifatnya. Protein hewani didapatkan dari susu dan produk-produk sampingan dari susu, seperti yogurt, keju, dan sebagainya. Dan bukan dengan menyantap hewan. Ingat susu ibu selama masa jabang bayi kita mampu menghidupkan dan menumbuhkan kita, demikian juga suplemen susu sapi mempunyai keampuhan yang sama untuk mahluk dewasa. Semua jenis hewan termasuk ular menyukai susu sapi. Demikianlah bumi dan alam semesta telah diciptakan secara sistimatis dan dalam rangkaian teknologi yang begitu canggih sehingga manusia tinggal melaksanakan beberapa upaya saja tanpa dilandasi ego dan pamrih. 
Penyantapan hewan akan menghasilkan elemen-elemen asuras di dalam jiwa dan raga kita, begitu juga konsumsi rokok dan alkohol, apalagi narkotik karena tidak sinkron dengan jiwa raga kita yang tidak diciptakan untuk tujuan tersebut. 
Di India terdapat sebuah hari raya besar yang disebut Deepavali yang merupakan permulaan tahun Syaka setiap tahunnya. Selama tiga hari pemujaan kepada Yang Maha Esa disampaikan dengan memuja Dewi Saraswati, Ganeshya, Laksmi dengan maksud menyadarkan manusia bahwa kehidupan manusia ini sia-sia tanpa dilandasi oleh elemen Saraswati, yaitu welas asih, budaya, etika, keindahan dan pemahaman akan Veda-Veda. Kemudian tanpa elemen Ganeshya yaitu ilmu pengetahuan dan Laksmi yang merupakan elemen dinamika, keberanian, dharma, dan kemakmuran, maka manusia itu sama dengan hewan biasa. Ketiga elemen kalau digabung dan dihayati baru bisa memberi makna kepada manusia dan baru bisa mengantar kita semua ke Hyang Maha Agung, tanpa itu pemujaan dan kehidupan ini bersifat semu dan hanya untuk kepentingan diri pribadi saja. Sloka mantra diatas akan lebih bermakna seandainya kita semua mempelajari Bhagavat-Gita khususnya bab 13 secara utuh.
 
7.“DariNya lahir ketujuh sifat (bentuk) Prana, ketujuh bentuk bara api, ketujuh bentuk bahan bakar, ketujuh lipatan (lapis) bentuk pengorbanan, dan juga ketujuh loka di mana berbagai Prana ini bergerak di dalam relung-relung raga (setiap) mahluk hidup; tujuh dan tujuh.” 
Keterangan : Aksara tujuh bukanlah aksara pemanis, tetapi memang bermakna secara spritual. Sri Shankara Acharya, filsuf terkenal di zamannya, pernah mengatakan bahwa yang dimaksudkan ketujuh prana ini adalah ketujuh indriyas vital kita, yaitu 2 mata, 2 lubang hidung dan mulut semuanya ini berada di bagian kepala. Kemudian lubang anus dan kemaluan, telinga tidak dihitung karena dianggap tidak mengeluarkan prana. Kemudian ketujuh bahan bakar adalah berbagai objek yang mempunyai hubungan ke tujuh prana tersebut.
- Ke tujuh bentuk pengorbanan diartikan sebagai berbagai ilmu pengetahuan dan kekuatan    yang didapatkan dari pelaksanaan berbagai prana. Seharusnya semua pelaksanaan prana-prana ini demi “pengorbanaan/persembahan” kepada Yang Maha Esa dari mana semua ini berasal.
- Ke tujuh loka bisa berarti tujuh cakra utama di alam raya maupun yang terdapat di raga manusia yang menjalankan fungsi prana vital baik secara buana agung maupun secara buana alit.  Angka atau tujuh dengan demikian selalu berhubungan dengan alam semesta itu sendiri dan secara spritual dianggap sakral.
 
8.“DariNya lahir, semua samudra dan semua pegunungan; dariNya lahir berbagai jenis dan bentuk sungai; DariNya juga lahir semua bentuk tanam-tanaman dan sari yang dikandung berbagai tanaman ini yang menghidupi badan halus (berbagai mahluk hidup) yang terbungkus oleh raga kasar (badan ini).” 
Keterangan : Sloka mantra diatas menggambarkan bagaimana bumi ini dibentuk dan dirancang melalui proses evolusi alam yang sebenarnnya berasal dari Yang Maha Esa secara sistimatis. Seluruh sarana di bumi ini kemudian dipergunakan oleh manusia, tetapi tidak berarti lalu manusia ini boleh bertindak secara sembrono dan merusak bumi ini, tetapi mengambil yang diperlukan saja. Dari berbagai tumbuh-tumbuhan ini diproduksi berbagai sari kehidupan untuk konsumsi dan kesehatan manusia secara satvik, sisanya bisa dipergunakan untuk berbagai kebutuhan hidup lainnya, Seluruh potensi alam dari mentari ke bumi dapat dipergunakan untuk keperluan teknologi asal manusia yang berakal budi mau memanfaatkannya secara hati-hati. Sloka diatas juga mengatakan berbagai makanan yang sehat bukan saja bermanfaat bagi raga kasar kita tetapi juga kepada prana dan jiwa dan badan halus kita.
 
9.“Sang Purusha itu secara pribadi adalah seluruh alam semesta ini, seluruh bentuk karma dan tapa. Semua adalah Brahman, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Abadi; dan wahai pemuda yang tampan, barang siapa memahami (fenonema) ini, yaitu yang bersemayam di relung paling dalam setiap mahluk hidup, maka olehNya akan dibukakan simpul-simpul kebodohan insan tersebut, di dunia ini juga.” 
Keterangan : Barang siapa sadar akan makna sloka mantra di atas, maka kebodohannya selama ini bisa terhapus oleh kesadarannya sendiri. Kalau saja kita mau merenungkan hakikat penciptaan ini maka akan terungkap makna kehidupan ini secara perlahan tapi pasti. Dengan ini diakhiri pesan-pesan spritual mengenai harapan, kebebasan dari kebodohan dan kegelapan yang selama ini menyelimuti kita. 
OM  TAT  SAT     
Akhir Bab II, Bagian 1
BAB I I
BAGIAN 2
1.“Terang benderang hadir sangat dekat, bergerak di dalam hati sanubari;di dalamnya terpusat seisi alam semesta; (dan juga) apa saja yang bergerak, bernafas dan berkerdip. Fahamilah (zat) itu yang tanpa bentuk dan juga yang berbentuk,Yang Maha Dikagumi,Yang Maha Tinggi diantara yang hidup dan, satu-satunya Yang Maha tak terjangkau oleh pemahaman berbagai mahluk hidup.” 
Keterangan : Sruti mencoba sekali lagi tanpa bosan-bosannya dan menegaskan sekali lagi dengan berbagai paradox, metafor dan perumpamaan akan berbagai manifestasi dan wujud Yang Maha Esa baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Kata terang benderang ataupun gilang gemilang adalah salah satu manifestasinya yang berupa cahaya yang bisa terlihat di dalam diri kita sendiri maupun di luar diri kita, seperti dalam meditasi kita, di suatu tempat yang sakral, dan berbagai pengalaman lainnya. Beliau Hyang Maha Esa adalah sumber dari segala cahaya di alam semesta ini.
Hadir sangat dekat, adalah gambaran atau posisi Sang Atman yang sebenarnya dekat sekali bersemayamnya yaitu di dalam diri kita sendiri, dengan memfokuskan dhyana kita ke dua alis mata tepatnya ditengah-tengah kedua alis mata kita secara suci dan berkesinambungan tanpa pamrih,maka sinar beliau akan dikaruniakan kepada kita. Buat apa mencari Tuhan jauh-jauh ke kuil maupun ke pura, atau dengan memuja arca atau lain sebagainya, kalau sebenarnya bisa dicapai melalui diri sendiri.
Bergerak di dalam hati sanubari, adalah sisi lain Sang Atman yaitu budhi atau daya intelek positif yang hadir di dalam nurani kita sendiri.
 
2.“Bercahaya lebih lembut dari pada yang terlembut, Sang Brahman Yang Tak Terbinasakan ini adalah wahana seluruh dunia dan isinya ini. Beliau adalah kehidupan, wicara, pikiran, realitas dan keabadian. Tanda-tanda ini seharusnya difahami oleh sang pikiran. Masukilah (fahami dan pelajarilah), wahai sahabatku.” 
Keterangan : Sang guru (Sruti) di sloka mantra di atas menjadi begitu lembut hatinya karena terliput oleh pemahamannya akan Yang Maha Esa sehingga ia menyebut muridnya”wahai sahabatku”, ini di karenakan sang murid telah menghayati ajaran-ajarannya dengan baik sehingga terjalin tali spritual diantara mereka berdua ibarat Sang Krishna dan Arjuna. Fenomena ini sulit dicapai oleh simurid dari seorang guru yang penuh welas asih tetapi juga bersifat ketat dalam menjalani disiplin spritualnya. Di sloka mantra berikutnya akan diterangkan bagaimana caranya memasuki dan memahamiNya.
 
3.”Setelah mengangkat gandawa (busur panah) yang dibalut oleh berbagai Upanishad……senjata maha dashyat……dan kemudian meletakan anak panah yang diarahkan berdasarkan pengamatan (fokus) meditasi yang terus menerus dan dengan memusatkan sang pikiran ke arah Sang Brahman, lepaskanlah anak panahmu wahai pemuda tampan! Ke titik pusat……yaitu Sang Brahman Yang Abadi.”
 
4.”Sang Pranawa adalah gandawanya, Sang Atman adalah anak panah,Sang Brahman dikatakan sebagai titik pusat. Dan titik pusat ini harus dituju oleh seseorang yang telah mandiri (mantap) didalam dengan jati dirinya agar yang menuju dan yang dituju menjadi satu yaitu dengan Sang Brahman (anak panah yang menancap tepat pada sang titik pusat dianggap menyatu dengan titik tersebut).”
 
Keterangan : Para penghayat spritual di India berdecak kagum akan isi kedua sloka mantra di atas, karena bagi yang memahaminya dan sanggup menghayati makna paling dalam, maka kedua sloka tersebut sebenarnya merupakan inti sari dari seluruh ajaran Sanatana Dharma yang diturunkan dari masa ke masa, dari satu Avatara ke Avatara yang lainnya dan seterusnya. Satukan Sang Atman yang ada di dalam dirimu dengan Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). 
Ada perumpamaan yang tersembunyi di sloka mantra di atas yang harus direnungkan : Sewaktu anak panah diangkat dan diletakkan di atas Gandiwa maka tidak akan terdengar suatu bunyi atau suara apapun juga, tetapi suatu anak panah melesat ke sasaran maka akan terdengar dengungan lembut dan suara ini berhenti begitu anak panah sampai ke sasaran. Ibaratkan suara dengungan tersebut adalah mantra Om yang lembut. Dan sewaktu anak panah melesat maka anak panah ini melalui ruangan kosong (udara) agar sampai ke sasaran; tidak mungkin dengan cara lain. Begitupun jalan dhyana untuk sampai ke Sang Brahman, sang jiwa yang menyandang Sang Atman yang bersemayam didalam diri kita harus dilatih dahulu secara terus menerus ibarat Arjuna berlatih panah, begitu mahir dan sudah menjadi ahli baru membidik ke arah yang tepat. Kehidupan spritual ternyata memerlukan ketekunan, latihan, kekosongan ibarat anak panah tersebut.
 
5.”Beliau yang di dalamnya terpusat langit dan bumi dan kekosongan yang meliputi seluruh alam semesta, juga sang pikiran dan seluruh bentuk-bentuk prana……fahamilah diriNya semata sebagai Sang Jati Diri yang Maha Tunggal bagi semuanya, dan jangan lagi membicarakan hal-hal diluar ini. Inilah jembatan bagi insan yang menyeberangi jalan spritualnya agar sampai ke pantai Keabadian.” 
Keterangan : Diantara manusia dan Yang Maha Esa walaupun jaraknya dekat sekali, ternyata terdapat suatu ”samudra yang luas” yang memisahkan keduanya ini. Samudra tersebut adalah kebodohan atau kekurangan pengetahuan kita semua akan hakikat kahidupan ini, akan hakikat jiwa raga dan tujuan yang kita sandang dalam perjalanan (yatra) spritual ini. Hanya dengan memahami OM secara benar kita akan mampu menyeberangi kebodohan kita. Pelajarilah wahai manusia dirimu sendiri, demikian selalu sabda-sabda yang dikumandangkan oleh para resi guru. Mantra sloka selanjutnya perlu kita simak dengan seksama.
 
6.”Dimana semua urat-urat syaraf bertemu ibarat jeriji-jeriji sebuah roda yang terpusat di as…..demikian juga Beliau bergerak di dalam hati kita, sambil melipat gandakan DiriNya. Semoga Yang Maha Esa menuntunmu secara cepat melintasi lautan kegelapan ini.” 
Keterangan : As sebuah roda adalah pusat dari sebuah roda di mana satu jeriji dihubungkan dengan jeriji yang lainnya. Salah satu dari ujung jeriji ini berada di as dan ujung lainnya di masing-masing posisi melingkar/di bagian dalam roda. Nampaknya sebuah as adalah perangkat lunak yang sederhana namun tanpa as seluruh mekanisme roda tidak akan bergerak dan akibatnya tahu sendiri. Di sloka mantra ini Yang Maha Esa dibaratkan sebagai as tersebut. 
Kemudian, ada lagi petunjuk tersirat di Sruti, yaitu Yoga Sastra di mana terdapat petunjuk akan adanya 82 ribu nadi (syaraf-syaraf lembut) di dalam raga kita yang berpusat pada as di raga kita ini. Dunia kedokteran barat tidak bisa menemukan syaraf-syaraf ini karena merupakan cahaya-cahaya prana yang sangat lembut dan transparan seperti jiwa kita sendiri. Syaraf-syaraf ini merupakan penghubung pikiran, rasa, dan lain sebagainya ibarat motor-motor yang bergerak terus tanpa lelah. Om adalah pusat dari jiwa raga dan Atman kita,jadi sebaiknya berfokus diri ke OM yang bahkan didambakan oleh para dewa-dewa itu sendiri. Terjagalah dari kebodohanmu, sabda para resi.
 
7.”Beliau (Tuhan Yang Maha Esa) ini bersifat Maha Bijaksana dan Maha Tahu,milik Beliau seluruh berkah di bumi ini dan berbagai manifestasi-manifestasinya. Di langit yang terdapat di dalam relung hati sanubari kita…….di Brahmapure Sang Brahman yang penuh dengan cahaya gemerlapan…….Beliau bersemayam berjubahkan sang pikiran dan menuntun kehidupan dan raga (kita semua). Dengan tahtanya yang terletak di hati kita, Beliau menghidupi seluruh raga manusia. Seseorang bijak yang meneliti ilmu pengetahuan yang sempurna akan DiriNya akan menyadari tahap keabadian yang amat membahagiakan ini.” 
Keterangan : Kata Brahmapure dibaca Brahmapuri; puri bisa berarti kerajaan bisa juga tempat yang suci, contoh Dewapuri (tempat tinggal para dewa). Sedangkan pura dalam bahasa Sansekerta berarti tempat yang ramai (kota), contoh : Jodhpur, Amlapur, dan sebagainya. Orang bijak yang bertirtayatra ke berbagai tempat suci dan akhirnya mencapai kebahagiaan spritual sejati disebut dhirah. Jadi ibarat seorang dhirah, barang siapa dapat menghayati ajaran Upanishad ini akan mencapai kebahagiaan spritual sejati dan hakiki yang sulit dijabarkan dengan kata-kata karena merupakan anugrah kebahagiaan yang tertinggi yang diberikan Sang Atman (Sang Jati Diri) kepada jiwa individu tersebut.
 
8.”Sewaktu ia telah menyaksikan kedua sisi yaitu yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, maka simpul pengikat hatinya akan terlepas; seluruh keraguan-keraguannya akan sirna; dan seluruh karma-karmanya akan terserap habis.” 
Keterangan : Bhagavat-Gita mengajarkan seluruh ajaran-ajarannya agar seseorang mencapai pemahaman akan hakikat dari manifestasi sang jiwa (yang lebih rendah) dan Sang Atman (yang lebih tinggi). Begitu ego dan ikatan-ikatan duniawi terlepas, maka yang lebih rendah akan memahami yang lebih tinggi. Kedua faktor ini hadir dalam setiap raga manusia, dan kalau sang jiwa berhasil melebur jadi satu dengan Sang Atman, maka terjadilah penyatuan yang dalam bahasa jawa kuno dikenal dengan sebutan ”Manunggaling Kawula Gusti”, yaitu penyatuan antara Sang Hamba dan Sang Gusti. Di sana bahkan dharma dan adharmapun melebur menjadi satu. Baca Asthavakra-Gita seandainya anda sudah membaca dan mempelajari Upanishad ini dan juga Bhagavat-Gita, agar tercapai pemahaman yang lebih baik akan kesatuan antara Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa).
 
9.”Yang Tak Ternoda, Yang Tak Terbagi-bagi, Yang Murni, cahaya dari semua cahaya, bersemayam di dalam relung hati sanubari yang paling dalam. Itulah yang difahami oleh mereka-mereka yang memahami Sang Atman.” 
Keterangan : “Relung hati yang paling dalam”, diibaratkan sebagai sarung pedang yang terbuat dari mas (Hiranmaye pare koshe). Ujung bagian paling depan, bagian didalamnya tentunya gelap dan tak terhembus pandang, demikian juga relung sanubari manusia yang paling dalam. Tetapi ternyata di dalam relung inilah Yang Maha Esa itu bersemayam, dan Beliau sebenarnya adalah Maha Cahaya dari semua cahaya duniawi dan spritual.
 
10.”Di sana Sang Surya tidak bersinar, tidak juga sang chandra (rembulan) dan juga tidak bintang-bintang; berbagai cahaya ini juga tidak bercahaya……lalu bagaimana halnya dengan api duniawi ini ? Pada hakikatnya semua cahaya ini bercahaya mengikuti Beliau yang penuh cahaya. Seisi jagat raya ini diterangi oleh Cahaya Beliau.” 
Keterangan : Inilah mantram yang amat terkenal yang senantiasa dijapakan pada saat melaksanakan arti yaitu pelaksanaan pemujaan sehari-hari ataupun di kuil dan di perayaan tertentu. Arti ini terdiri dari sebuah talam yang ditaburi bunga-bunga harum warna-warni, campher, dupa, vibhuti, tilak merah dan kuning, sedikit beras dan bubuk cendana, dan boleh ditambahkan pelita kecil. 
“Di sana tidak bersinar sang surya dan rembulan….”adalah lokanya Yang Maha Kuasa karena loka tersebut adalah sumber cahaya Keabadiaan itu sendiri, dan seluruh cahaya yang disandang dan dipancarkan oleh apapun juga di alam semesta ini bersal DariNya semata. Di Bhagavat-Gita loka atau Yang Maha Esa ini diibaratkan seperti 1000 mentari yang bersinar sekaligus. Tetapi fenomena ini baru dijabarkan secara duniawi (buana alit); dari sudut spritual cahaya ini ternyata juga berada di dalam relung hati kita yang paling dalam, dan dapat dicapai oleh kita semua seandainya hakikat Yang Maha Esa bisa dianugrahkan kepada kita. Pengalaman tersebut pleh para resi disebut sebagai sesesuatu yang dashyat dan amat menakjubkan.
 
11. “Pada hakikatnya semua (fenomena) ini adalah Sang Brahman yang Maha Abadi, (Beliau) hadir di atas, di bawah, di depan dan di belakang, di sebelah kanan dan kiri, Beliau hadir di mana-mana : Seluruh alam semesta ini pada hakikatnya adalah sang Brahman Yang Maha Kuasa.” 
Keterangan : Sruti menutup bab ini dengan menegaskan sekali lagi secara sangat meyakinkan bahwa Yang Maha Esa itu hadir di mana saja dan bahkan dikedalaman pikiran dan intuisi kita. Seluruh alam semesta yang disebut jagat raya ini dan segala isinya terisi olehnya semata, Beliau inilah ajaran Sruti dan jelas dijabarkan oleh Raja Janaka dan Resi Ashtavakra di Ashtavakra Gita. Sewaktu yang mencari dan yang dicari menjadi satu, maka tercapailah moksha di bumi ini dan itu terjadi sewaktu seseorang itu masih hidup. Itulah hakikat pencapaian seorang manusia, pencapaian yang tertinggi ! 
Dengan ini berakhir Bab II, Bagian 2
 
BAB III
BAGIAN 1
1.”Dua ekor burung yang terjalin dalam suatu kesatuan persahabatan yang intim, hinggap di sebuah pohon berjati diri sama. Burung yang satu menyantap buah-buahan pohon tersebut, penuh dengan rasa nikmat, sedangkan yang satunya lagi memandang terus tanpa menyentuh apapun.” 
Keterangan : Sloka mantra di atas oleh para resi dianggap sakral karena amat bermakna. Burung yang satu adalah Jivatman (sang jiwa) dalam diri kita semua, sedangkan burung yang satu lagi adalah Sang Jati (Atman) yang juga adalah Paramatman yaitu Yang Maha Kuasa yang hadir dan menjadi saksi dalam diri setiap individu. Tragisnya hampir semua manusia di dunia tidak sadar akan hakikat ini. Pohon adalah raga kita dan berbagai aspek karma dan kehidupan kita yang dilambangkan oleh cabang, ranting, dedaunan, biji, bunga dan seterusnya. Serangga, semut, nyamuk, ulat, kupu-kupu, belalang, burung, dan lain sebagainya adalah pengunjung pohon ini, yang berarti dampak dari kehidupan itu sendiri yang berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan itu sendiri. Anehnya burung yang satu (jiwa) terbius oleh ilusi duniawi yang pekat dan tidak sadar akan burung Yang Maha (Sang Penuntun) yang hadir di sebelahnya.
 
2.”Bertengger di pohon jati diri yang sama, salah seekor burung ini, yaitu sang ego…..tenggelam di dalam kebodohan dan tersesat; (kemudian) sang burung ini meratapi ketidak berdayaannya. Namun sewaktu ia menatap ke burung yang satu lagi…..yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Terpuja……dan KeagunganNya, maka burung ini pun lalu lepas bebas dari keputus-asaannya.”
Keterangan : Yang di sebut ego di sloka mantra ini adalah sang jiwa yang selalu membandel dan tenggelam dalam keangkuhannya sendiri, padahal Sang Atman telah mendampingi kita dari permulaan hidup sampai ke akhir hayat kita. Manusia yang egois tidak pernah mau menuruti hati nuraninya sendiri yang senantiasa membimbing dan mengayominya, ia malahan merusak elemen-elemen tubuhnya dengan berbagai makanan dan kebiasaan hidup yang tidak layak.
 
3.”Sewaktu seseorang yang suci menyadari akan Hakikatnya……yang Maha Kuasa,Yang Maha Pencipta dan bahkan yang menjadi sumber dari sang pencipta (Dewa Brahma) itu sendiri…..orang bijak ini kemudian, terlepas dari segala pahala dan sebaliknya dan berbagai tindakannya selama ini, kemudian berubah menjadi tak ternoda, dan mencapai tahap yang teramat stabil (tak tergoyahkan oleh fenomena apapun juga).” 
Keterangan : Mengenai ajaran tahap stabil ini keterangannya ada di Ashtavakra-Gita, suatu dialog yang sarat dengan ajarannya yang teramat kontradiktif.
 
4.”Begitu menyadari akan hakikat Yang Maha Esa, orang yang bijak ini larut dalam ketenangan yang paling dalam. Ia berkarma dengan dirinya sendiri; ia berbahagia dengan dirinya sendiri dan melaksanakan tugas-tugasnya (selaras dengan kehendak Yang Maha Kuasa), diantara yang mengenal Sang Brahman, manusia bijak ini adalah yang terbaik.” 
Keterangan : Sukar sekali memahami kehidupan dan tindak-tanduk manusia bijak ini. Ada yang senantiasa berdiam diri, ada yang menjauhkan dirinya dari keramaian masyarakat, ada yang sangat energik dan revolusioner seperti Mahatma Gandhi, sastrawan agung seperti Rabrindanath Tagore, ada yang suci bersih seperti ibu Theresia, bahkan ada yang senantiasa telanjang bulat di Himalaya. 
Di Jakarta ada seorang pengemis tua yang yang senantiasa memberikan hasil yang didapatkan dari pengunjung mesjid ke pengemis-pengemis lainnya yang lebih membutuhkannya, sewaktu kami tanya mengapa ia mengemis kalau hasilnya untuk orang lain, dengan santai ia menjawab, “saya hanya mengambil hak saya yang cukup untuk hari ini, lebihnya hak orang lain yang membutuhkannya. Hari esok masih jauh jadi tidak perlu saya pikirkan.” Bandingkan dengan koruptor yang menguras uang negara tanpa habis-habisnya. Ternyata pengemis yang non Hindu ini sudah menyadari hakikat Sang Atman yang hadir di setiap insan dan mahluk lainnya.
 
5.”Sang Jati Diri dapat dicapai melalui ketulusan, konsentrasi kebijaksanaan (antah karana suddhi) dan disiplin spritual; (demikianlah) keseluruhan upaya-upaya ini agar dilaksanakan secara berkesinambungan. Sewaktu kekotoran (duniawi) tergoyahkan (rontok), orang yang suci akan menyaksikanNya……Yang Maha Tak Ternoda, dan bercahaya gilang gemilang (Jyotirmayo)…..di dalam raganya sendiri.” 
Keterangan : Seseorang suci dan bijak dengan kriteria-kriteria di atas melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya penuh dengan satyam (kebenaran), sundaram (keresikan, keindahan) dan berdasarkan ahimsa (non kekerasan) dan penuh kendali diri dari berbagai nafsu termasuk seks (Brahmacharyam). Semua sifat utama ini disebut candi dari Dharma itu sendiri. Raga kita ini sebenarnya diciptakan dalam bentuk candi atau padmasari (padmasana), lengkap dengan semua cakra dan strata suci yang di sebut loka dalam bentuk buana alit yang sama dengan yang ada di buana agung. Aduh, tetapi manusia masih tergila-gila dengan yang di luar sana, candi milik pribadi ditinggalkan hanya untuk bertirtayatra ke candi-candi lain yang jauh lokasinya. Dirinya sendiri tidak dispritualkan tetapi arca dan candi-candi lain dipuja-puji setengah mati. Seandainya kita mau berdisiplin diri sedikit dengan berpuasa, bermeditasi, memuja siang, pagi, petang dan malam barang lima menit saja seharinya, mau membersihkan diri kita dengan tidak mengkomsumsi benda-benda yang mengotorkan dan menyengsarakan tubuh dan jiwa kita, maka Beliau yang bersemayam di dalam candi ini pasti akan bersinar.
 
6.”Hanya kebenaran yang jaya raya, bukan ketidak benaran ! melalui jalan kebenaran terletak jalur suci yang oleh para kaum suci yang sadar, yang lepas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi, didaki menuju ke tempat suci di mana bersemayam yang Maha Benar (yaitu Kebenaran Hakiki).” 
Keterangan : Ada berbagai jalan dan jalur ke berbagai loka setelah sang jiwa ini meninggalkan raganya (meninggal dunia). Di sloka mantra ini, jalur suci khusus bagi orang yang bijak ini ternyata disediakan secara tersendiri oleh Yang Maha Esa, dan jalan ini disebutkan mendaki melalui jalur khusus ke arah bersemayamnya kebenaran Yang maha Hakiki ini. 
“Hanya kebenaran yang menang dan bukan sebaliknya” (Satyameva jayatenaanritam) adalah ungkapan atau sabda sakral yang sering di utarakan kaum suci dan bijak kepada mereka-mereka yang berjalan di jalan dharma yang menanjak, yang sulit dan bertebing-tebing, dengan jurang menganga di sekelilingnya, dan angin topan, salju dan hujan selalu menerjang secara kejam tanpa ampun. Semakin ke atas semakin dingin dan membeku, tetapi jalan dharma mempunyai senjata yang tak terkalahkan yaitu kemenangan itu sendiri, yang akan datang tanpa diminta. “Tidak ada yang sia-sia di jalan dharma”, kata para resi guru; ”Dikau boleh kehilangan semua milikmu tetapi sebenarnya dikau tidak kehilangan apapun juga, dikau kehilangan dharma maka dikau kehilangan semuanya.”
 
7.”Sangat luas, suci, jauh di atas segala imajinasi bercahaya Kebenaran Sang Brahman, (Beliau) ini lebih lembut dari yang terlembut, lebih jauh dari yang terjauh. Di dalam kehidupan ini para resi menyadarnya sebagai yang bersemayam di dalam hati sanubari.” 
 
8.”Sang Jati Diri tidak bisa terjangkau oleh mata maupun kata, tidak dapat dirasakan oleh berbagai indriyas, tidak terungkapkan oleh berbagai ritual dan tapabrata. Sewaktu pemahaman (seseorang) berubah menjadi terang, bersih dan murni, maka di dalam meditasinya ia akan mencapai Yang Maha Hakiki.”
 
Keterangan : Sruti menyabdakan sekali lagi bahwasanya Sang Atman ini tidak dapat dijangkau dengan cara apapun juga, kecuali seseorang berubah menjadi murni jalan pikirannya. Sewaktu terjadi penyatuan antara sang Yogi dan Sang Yogeshwara, maka insan ini akan berubah secara total dan kehidupannya sehari-hari terasa aneh bagi yang tidak memahami keadaan spritualnya. Ia tidak bisa berkomunikasi secara gegabah dengan siapa saja karena akan dianggap gila dan tidak wajar. Itulah sebabnya ajaran-ajaran mereka tidak di turunkan ke masyarakat luas karena bisa menimbulkan kerancuan dan kerawanan sosial. Ajaran-ajaran adiluhung mereka hanya bisa diturunkan ke beberapa murid yang memenuhi syarat-syarat khusus saja dan itupun prosesnya rumit. Namun begitu, mereka yang senantiasa bermeditasi ke arahNya dengan sifat-sifat di atas, akan mencapainya.
 
9.”Melalui jalur Cahayanya, sang Buddhi dalam seseorang seyogyanya memahami hakikat lembut Sang Atman yang terdapat di dalam raganya yang berisikan kekuatan kehidupan (prana) yang berlapis lima. Budhi manusia teranyam dengan berbagai indriyasnya. Sewaktu budhi tersebut berubah menjadi murni, Sang Jati Diri (langsung sekatika) bersinar keluar.” 
Keterangan : Budhi atau nurani atau daya intelek spritual selalu terkait erat dengan mata, hidung, pikiran, dan seluruh indra-indra di tubuh kita sehari-harinya, dan hal ini mempermudah diri kita untuk stress dan egois, serta marah dan murung, yang akan mempengaruhi perjalanaan spritual kita. Namun kalau semua itu bisa disingkirkan dan Sang Budhi lalu bersifat stabil dan murni, maka beliau yang bersemayam di dalam diri kita dipastikan akan langsung terpancar keluar.
 
10.”Srata apapun yang dikehendaki oleh seseorang yang telah bersifat suci murni; benda apapun yang dikehendakinya, maka akan didapatkan olehnya semua strata (loka) dan benda-benda tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang mendambakan kemakmuran seyogyanya menghormati seseorang yang telah menyadari Jati Dirinya sendiri.” 
Keterangan : Apa saja yang dihasratkan oleh yang bersifat murni ini, baik disengaja maupun dengan tidak sengaja bisa mudah didapatkannya, tetapi berhati-hatilah, sebab inilah tahap siddhi yaitu kesaktian yang kalau dilakukan dengan pamrih sesedikit apapun juga akan menyesatkan insan ini ke jalan yang sesat. Bagi yang non pamrih semua karunia ini (Iswarakripa) akan merupakan anugrah tidak terhingga dan berguna untuk seluruh mahluk ciptaannya.           
Manusia-manusia yang menghasratkan kesuksesan duniawi dianjurkan oleh Upanishad ini untuk mendekati insan-insan suci penuh kesaktian ini, dan memohon semua yang duniawi kepadanya. Bagi sang yogi sloka ini kalau dituruti bisa menjadi bencana baginya. Kalau imannya lemah maka ia akan goyah oleh siddhinya, namun seandainya ia kuat di jalan dharma maka semua orang yang mengemis kepadanya tidak akan dihiraukannya kecuali yang betul-betul memerlukan pertolongan tanpa pamrih. 
Dengan ini berakhirlah Bab III, bagian 1
 
 BAB  III
BAGIAN  2 
1.”Seseorang yang telah sadar akan Jati Dirinya sendiri, akan memahami Sang Maha Brahman Yang Maha Bercahaya gilang gemilang, yang adalah asal-muasal dunia ini. Dan mereka-mereka yang telah bersih sanubarinya, yang tanpa pamrih akan materi duniawi berhasrat untuk berbakti kepada orang-orang yang telah sadar akan Hakikat Yang Maha Esa ini, akan terlepaskan diri siklus-siklus kelahiran mereka.”
 
Keterangan : Kalau pada sloka mantra sebelumnya orang-orang yang masih duniawi diarahkan ke jalan yang melenceng, maka di sloka ini mereka-mereka yang jalan di jalur dharma dianjurkan untuk berguru dan berbakti kepada para guru spritual yang sudah manunggal ini. Hal ini amat berguna baik bagi sang guru maupun sang sishya dalam menjalankan kehidupan dharma mereka secara bermanfaat bagi semua mahluk.
 
2.”Barang siapa menghasratkan dan mengejar berbagai objek tanpa henti-hentinya, maka mereka ini akan selalu lahir di sana sini demi tercapainya berbagai hasrat-hasrat tersebut. Tetapi dalam halnya seorang yang suci yang berbagai hasrat-hasratnya telah mencapai kesempurnaan yang terakhir dan telah menyadari akan hakikat jati dirinya maka berbagai hasrat-hasrat ini akan sirna bahkan di kehidupan ini.” 
Keterangan : Berhati-hatilah dengan segala hasrat duniawi yang bisa menjerat kita kedalam kehidupan selanjutnya demi pencapaian hasrat-hasrat tersebut yang bisa membawakan penderitaan dan lingkaran kehidupan yang tidak ada henti-hentinya.
 
3.”Sang Jati Diri tidak dapat dicapai melalui berbagai prarachanena (dharma wacana, satsangh, bhajan, puja, tirta yatra, dan sebagainya) tidak juga dapat dicapai dengan menghafal berbagai mantra-mantra suci, juga tidak dengan belajar secara berlebih-lebihan. Sang jati Diri hanya bisa dicapai oleh seseorang yang berhasrat untuk mencapainya, dengan upaya seluruh jiwa dan raganya. Kepada pemuja ini Sang Jati Diri akan menampakkan hakikatnya yang sejati.”
 
4.”Sang Jati Diri tidak dapat dicapai oleh manusia-manusia yang lemah (baik jiwa raga maupun budhinya), juga tidak dapat dicapai oleh mereka-mereka yang tidak tulus, juga tidak oleh mereka-mereka yang melaksanakan berbagai upacara dan tapa brata yang sesat, tetapi manusia-manusia yang bijak yang berusaha sekuat tenaga dengan semangat, perhatian, dan displin yang murni akan mencapai penyatuan dengan Sang Brahman.”
 
5.”Sewaktu para kaum suci ini mencapai sang Atman, mereka terpuaskan oleh ilmu pengetahuan mereka, tujuan mereka terpenuhi, mereka pun terbebas dari berbagai hasrat dan mencapai Sang Atman Yang Maha Hadir di segala sisi, para insan suci ini selanjutnya membaktikan diri mereka ke Sang Jati Diri, dan melebur (memasuki) segala-galanya.”
 
6.”Setelah menetapkan secara seksama dan jauh dari segala keraguan-raguan akan isi sebenarnya dari berbagai Upanishad, dan setelah membersihkan pikiran-pikiran mereka dengan ”yoga penyerahan diri,” semua orang suci ini berlabuh di lokanya Sang Brahman; dan mendapatkan keabadian dan kebebasan penuh (lepas dari karma dan reinkarnasi) pada saat kematian mereka.” 
Keterangan : Mereka-mereka yang telah mempasrahkan kehidupan ini secara total akan mendapatkan moksha dalam bentuk pembebasan dari seluruh karma dan reinkarnasi di masa-masa mendatang, dan pembebasan tersebut tercapai di saat orang yang bijak dan suci ini menunggalkan hayatnya di dunia ini. Bagi Sri Shankara Acharya kematian yang disebut di sloka ini diibaratkan : ”kematian dari segala bentuk ego (positif dan negatif) dan hasrat-hasrat duniawi dari insan yang suci ini.
 
”Di persada Bali, fenomena ini disimbolkan dengan arca atau lukisan Achyinta (sang Hyang Widhi Wasa) dalam bentuk non keterikatan alias jabang bayi yang tak berbusana lepas dari semua yang bersifat duniawi, dan berdhyana secara shanti dan dalam bentuk sachitananda di atas ruang kosong di Padmasari atau Padmasana. Sayang insan Hindu Bali kebanyakan tidak mengerti makna simbol beliau Yang Maha Suci ini.
 
7.”Kelima belas kala (bagian) memasuki elemen (unsur-unsur) mereka masing-masing, para dewata (yang hadir di dalam tubuh kita) kembali ke unsur kedewataan mereka masing-masing . Seluruh karya pelaksanaan mereka dan seluruh pengetahuan jati diri mereka menyatu dengan Yang Maha Tunggal (tinggi) dan Yang Maha Tak Terbinasakan yaitu Maha Brahman.” 
Keterangan : Pada saat kematian seluruh elemen (unsur-unsur) di raga kita kembali ke unsur-unsur inti di alam semesta dari mana semua itu berasal sesuai dengan keterangan yang terdapat di sloka ini. Kelima belas kala ini adalah masing-masing : prana, iman, akasa (ehter), air, udara, api, bumi, indriyas, pikiran, makanan, kekuatan jalan pikiran, berbagai mantra, berbagai loka baik yang kasat mata di dunia ini maupun yang tidak kasat mata dan terletak jauh dari bumi. 
Tubuh kita adalah Padmasana yang sesungguhnya, bukan tuga-tugu yang dipuja di halaman rumah kita. Di berbagai titik tubuh kita hadir berbagai dewa-dewi contoh : Ganeshya di cakra utama (Muladhara cakra) yang terletak di antara kemaluan pria dan rektum, Brahma di pusar, dan seterusnya menurut anatomi sistem yoga. Seluruh buana alit dengan 4 milyar unsur cahaya dalam bentuk dewa-dewi dan asuras hadir dalam buana alit ini persis seperti di buana agung.
 
8.”Ibarat berbagai aliran sungai yang kehilangan nama dan bentuk diri mereka begitu menyatu dengan sang samudra, demikian juga seorang yang bijaksana lepas dari berbagai identifikasi diri termasuk nama dan rupanya dan menyatu dengan Yang Tertinggi di antara yang tinggi……yaitu Yang Maha Kuasa (suci).”
 
9.”Barang siapa mengenal Sang Maha Brahman berubah menjadi Brahman dan di jalurnya (dalam keturunannya) tidak akan terlahir orang-orang yang tidak mengenal Brahman. Ia akan melampaui (berbagai) rasa khawatir, dosa (papmanam) dan melalui berbagai simpul-simpul yang berhubungan dengan hati sanubari, ia akan berubah menjadi abadi.” 
Keterangan : Ternyata pahala bagi yang telah memahami dan menyadari akan Hakikat Yang Maha esa itu fantastis sekali sifatnya. Bukan hanya mereka saja yang bisa memahaminya tetapi di dalam garis keturunannya diberikan anugrah ini juga. Tentunya para resi yang telah manunggal ini tidak akan bohong dengan pernyataan ini tetapi tentunya telah terbukti sebelumnya. Alangkah bahagianya insan suci ini yang di dalam garis turunannya tidak akan dilahirkan orang-orang yang kafir. 
“Simpul-simpul yang berhubungan dengan hati sanubari”……adalah berbagai indriyas yang mengikat hati sanubari atau nurani kita dengan segala keterikatan duniawi kita. Para resi guru mengatakan sewaktu suatu waktu nanti simpul-simpul ini terlepas, maka lepas juga beban duniawi kita dan sang jiwapun meneguk ”amritattwa” yaitu air keabadiaan. Fenomena keabadian ini sulit dijabarkan dengan kata-kata dan bisa berlainan versinya dari satu aliran kepercayaan ke aliran yang lainnya, dari satu individu ke individu lainnya walaupun intisarinya sama.
 
10.”Di dalam Veda mantra (Richa), ajaran yang khusus ini telah diterangkan secara berikut : “Ajaran mengenai Sang Brahman ini hanya khusus diajarkan kepada mereka-mereka yang melaksanakan berbagai ritual, yang membaca dan mempelajari berbagai Veda-Veda, yang menitik beratkan meditasi mereka ke arah Sang Brahman, yang beriman dan menyerahkan diri mereka sebagai persembahan ke api yang disebut Yekarshi; dan yang telah melaksanakan secara penuh disiplin upacara Sirovrita.” 
Keterangan : Veda-veda hadir jauh sebelum lahirnya berbagai Upanishad dan sepintas tidak berhubungan, tetapi hampir seluruh resi guru pencipta Upanishad tetap berkiblat ke Veda dan sering sekali menyitir dan mengambil persamaan dari Veda yang isinya tidak jauh dari intisari Upanishad itu sendiri. Secara spritual apa yang tersirat di Veda ada dan hadir juga di Upanishad dan terasa masih relevan di era yang modern ini. 
- Richa = mantra-mantra atau puja-puji yang terdapat di Veda.
 Ada yang menarik dengan sloka di atas, banyak resi guru yang tidak mau mengakui keberadaan mantra sloka di atas karena dianggap telah keluar jalur Upanishad yang hakiki seperti upacara yang disebutkan di atas yang sebenarnya tidak diperlukan. Menurut para ahli Hindhu Dharma dalam naskah aslinya sloka ini tidak ada, dan merupakan sebuah korupsi yang dilakukan oleh para Brahmana keji yang berkuasa untuk kurun waktu yang lama sekali di India sampai lahirnya Sang Buddha Gautama. Sisipan ini sengaja dimasukkan karena pada zaman itu berbagai Veda dan Upanishad hanya diturunkan kepada turunan mereka, diluar itu tidak diajarkan. Inilah pengacauan sistem kasta yang keji yang masih berlaku di Bali dan sebagian India. Sloka ini boleh diabaikan karena kami tambahkan sekedar untuk studi banding saja. 
- Sirovrita = Di Atharva Veda ada sejenis ritual yang disebut Sirovrita 
Yaitu Sang Sadhaka harus meletakan sebuah cawan berisi api di kepalanya. Upacara ini dikecam keras oleh para sanyasin karena bersifat hitam dan merusak elemen cakra dan tubuh kita dan bertujuan kesaktian dan penuh pamrih, jadi bertentangan sekali dengan jalur ajaran Upanishad yang ahimsa dan non pamrih ini. 
- Yekarshi : Berbagai upacara yang dilakukan para Brahman untuk mendapatkan pamrih-pamrih tertentu termasuk upacara agni-hotra yang nonsense dan pamer kekuatan.
 
11.”Itu adalah kebenaran. Para Resi Angira menyabdakan perihal ini kepada para murid mereka di masa-masa yang silam. Tidak seorangpun, yang belum bersumpah (berketetapan) mengambil jalan atau diri, yang layak untuk mempelajari (kebenaran) ini. Puja-puji kami haturkan kepada para resi yang agung; kami menunduk dan menghaturkan sembah kepada para insan-insan yang suci ini (Namah paramarishibhyo namah paramarishibhyah).” 
Keterangan : Ini dan itu senantiasa diekspresikan para resi yang tidak henti-hentinya menjabarkan akan perihal hakikat Kebenaran Yang Maha Esa ini. Begitulah gaya spritual di zaman Vedanta dan Upanishad dalam bahasa Sansekerta yang halus dan puitis penyampaiannya. Pesan dan saran ketat di sloka ini mengatakan seandainya seorang sishya atau shadhaka belum berketetapan atau bersumpah di depan gurunya, maka ia sebaiknya tidak mempelajari Upanishad ini lebih jauh, karena tanpa pemasrahan total tidak ada pemahaman. Bayaran yang harus dibayarkan setiap sishya adalah pemasrahan total diri mereka kepada sang guru baru kemudian dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. 
Sekilas terkesan sangat otoriter, sebenarnya tidak juga karena pesan ini disampaikan pada akhir Upanishad ini, bukan pada awalnya, jadi bersifat demokratis : ”ambil atau tinggalkan”. Tentunya secara sadar dan penuh dedikasi dan penghayatan. 
Puja-puji kepada para Resi agung yang telah Abadi, 
Puja-puji dan Kekaguman kepada para insan-insan pencetus Veda dan Upanishad yang bersifat Suci dan Murni. 
OM……….SHANTIHI……….SHANTIHI………. SHANTIHI
 OM          TAT           SAT
 Dengan ini berakhirlah ajaran suci Mundakopanishad, Semoga bermanfaat bagi kita semua.
…………………………….
 
Disarikan ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan m. s.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar