Kamis, 07 Juni 2012

Parikshit Dinobatkan

                           Bab 13 Parikshit Dinobatkan



Kunti Dewi mengikuti jalan yang ditempuh Shyamasundara (Sri Krishna). Yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa nyawa. Arjuna menangis keras-keras, “Kakanda! Apa yang akan saya katakan? Kita telah kehilangan ibu kita.” Dharmaraja yang berdiri di sebelahnya terguncang hebat oleh kejutan itu; ia melangkah mendekati tubuh ibunya dan berdiri terpaku ketika melihat wajahnya yang memucat.

Para dayang di luar pintu mendengar perkataan Arjuna, mereka lalu mengintip ke dalam kamar. Tubuh Kunti Dewi terbaring di lantai. Arjuna meletakan kepala jenasah pada pangkuannya dan menatap wajah ibunya lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca. Para dayang keraton saling menyampaikan berita ini; mereka masuk dan menyadari sang Ibu Suri telah meninggalkan mereka, tidak mungkin kembali lagi. Mereka menangis keras-keras ketika mengetahui malapetaka yang meremukan hati ini.

Sementara itu berita tersebut terdengar oleh para ratu di ruang dalam. Dalam beberapa detik berita duka itu tersebar ke seluruh Hastinapura. Para ratu diliputi kesedihan. Mereka masuk tertatih-tatih sambil memukuli dada mereka dalam duka yang mendalam. Para penghuni istana datang melawat ke tempat tinggal Ibu Suri bagaikan aliran kesedihan yang tiada akhirnya. Bhima, Nakula, Sahadewa dan para menteri diliputi duka cita.

Suasana diliputi kepedihan yang tidak terhingga. Tidak seorangpun dapat percaya bahwa Kunti Dewi yang beberapa menit sebelumnya menunggu-nunggu Arjuna, puteranya, dengan penuh kerinduan, ingin mendengar kabar yang dibawanya dari Dwaraka, tiba-tiba meninggal demikian mendadak. Mereka yang datang dan melihat, berdiri diam terpaku. Tangisan para dayang, ratapan para ratu, dan duka cita putra-putranya meluluhkan hati yang paling tegar sekalipun.


Dharmaraja menghibur setiap orang dan menanamkan keberanian. Ia memberitahu mereka agar tidak terbawa kesedihan. Ia tidak menitikan air mata; ia sibuk berjalan kian kemari dengan tabah, memberi petunjuk-petunjuk kepada setiap orang dan membangkitkan kekuatan batin. Hal ini membuat setiap orang mengagumi pengendalian dirinya. Para menteri menemuinya dan berkata, “Maharaja, ketenangan Paduka membuat kami kagum. Baginda amat menghormati ibu Paduka dan memperlakukan Beliau bagaikan napas hidup Paduka sendiri. Bagaimana Paduka dapat menerima kepergian Beliau tanpa merasa sedih?” Dharmaraja tersenyum melihat kecemasan mereka. “Menteri, saya sangat iri bila memikirkan
Ibunda yang telah wafat. Bunda benar-benar amat beruntung. Begitu mendengar bahwa Sri Krishna pergi ke Surga, segera Bunda meninggalkan dunia ini. Ibunda langsung menyusul Krishna ke surga karena tidak dapat menanggung pedihnya perpisahan dengan Beliau,” kata Dharmaraja.

“Kita ini amat tidak beruntung. Kita begitu dekat dengan Beliau; kita mendapat demikian banyak kegembiraan dari Beliau, tetapi kita tetap hidup! Jika kita benar-benar memiliki bakti seperti yang kita nyatakan, seharusnya kita sudah meninggalkan raga seperti Ibunda pada waktu mendengar kehilangan ini. Cih, malulah kita. Kita ini hanya beban bagi bumi. Seluruh tahun-tahun kehidupan kita ini percuma belaka.”

Ketika warga kerajaan dan orang-orang lain mengetahui bahwa Kunti Dewi menghembuskan napas terakhir bengitu mendengar bahwa Krishna telah meninggalkan dunia, mereka menangis makin keras, karena kesedihan lantaran kehilangan Krishna jauh lebih besar daripada kesedihan karena lantaran kehilangan Ibu Suri. Banyak yang bertingkah laku seakan-akan mendadak gila; tidak sedikit yang membentur-benturkan kepala pada dinding rumah mereka, mereka merasa amat menderita dan sedih.

Kejadian ini seperti bensin yang dituangkan ke dalam api. Dalam aliran kesedihan tak terhingga yang disebabkan oleh dua kehilangan ini, hanya Dharmarajalah yang tetap tenang. Ia menghibur para ratu, ia berbincang dengan lemah lembut dan meyakinkan kepada mereka masing-masing. Diberitahunya mereka bahwa tidak ada artinya meratapi kehilangan Ibu Suri atau kepergian Sri Krishna. Mereka masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. “Tinggal kitalah sekarang yang harus memenuhi takdir kita melalui langkah-langkah yang sesuai,” demikian katanya.

Dharmaraja memanggil Arjuna ke dekatnya dan berkata, “Arjuna! Dinda terkasih, marilah kita tidak menundanya lebih lama, upacara perabuan Ibu harus segera dimulai; kita harus menobatkan Parikshit sebagai maharaja; kita harus meninggalkan Hastinapura malam ini juga; setiap detik terasa bagaikan seabad bagi saya.” Dharmaraja penuh dengan ketidakterikatan yang ekstrem, tetapi Arjuna dijiwai dengan semangat pengunduran diri yang lebih besar lagi. Diangkatnya kepala jenasah ibunya dari pangkuannya dan diletakkannya di lantai. Diperintahkannya Nakula dan Sahadewa agar menyiapkan penobatan Parikshit. Ia memberi berbagai petunjuk kepada lain-lainnya, para menteri, pajabat, dan sebagainya, mengenai persiapan-persiapan yang harus dilakukan sehubungan dengan keputusan raja dan para pangeran. Ia benar-benar amat sibuk. Bhima sibuk menyelenggarakan perabuan jenasah ibunya.

Para menteri, warga masyarakat, pendeta dan para guru diliputi rasa heran, kagum, dan sedih oleh perkembangan yang aneh dan aneka peristiwa yang terjadi di istana. Mereka tenggelam dalam duka dan putus asa, tetapi harus menyimpan semuanya dalam hati. Mereka juga terpengaruh oleh gelombang ketidakterikatan yang kuat. Mereka berseru dengan penuh rasa heran, “Ah, paman dan bibi dari pihak ayahnya tiba-tiba meninggalkan istana; berita mangkatnya Krishna datang bagaikan halilintar menerpa kepala yang sudah runyam memikirkan bencana ini, kemudian mendadak sang ibu meninggal; belum lagi jenasahnya diangkat dari tempat ia terjatuh, Dharmaraja menyiapkan acara penobatan! Dan sang maharaja merencanakan akan meninggalkan segala-galanya – kekuasaan, kekayaan, kedudukan dan wewenang – kemudian pergi ke hutan bersama adik-adik beliau. Hanya Pandawalah yang dapat memiliki keberanian dan ketidakterikatan semantap itu. Orang lain tidak akan mampu melakukan hal seberani itu.”

Dalam beberapa menit upacara perabuan telah dilaksanakan. Para Brahmin dipanggil masuk; Dharmaraja memutuskan akan melangsungkan upacara penobatan secara sangat sederhana. Para penguasa dan raja bawahan tidak diundang, demikian pula undangan tidak diberikan kepada sanak keluarga dan waga masyarakat di Indraprastha.

Tentu saja upacara penobatan dalam dinasti Bharata, pengangkatan penguasa pada takhta singa keramat pemilik garis keturunan tersebut biasanya merupakan peristiwa besar. Harinya akan ditetapkan beberapa bulan sebelumnya, saat yang bertuah dipilih dengan dengan amat hati-hati; dan persiapan rinci secara besar-besaran kemudian dilakukan. Tetapi kini dalam beberapa menit segela sesuatu disiapkan dengan sarana apa pun yang tersedia dan siapa pun yang kebetulan dekat. Parikshit dimandikan dengan upacara, perhiasan dipasang pada kepalanya, kemudian para Brahmin dan para menteri membimbingnya menuju singgasana. Ia diminta duduk di takhta. Ketika Dharmaraja memasang sendiri diadem penuh berlian pada kepala Parikshit, setiap orang yang hadir di balairung menangis sedih. Wewenang kekaisaran yang seharusnya diturunkan kepada pewaris takhta diiringi sorak sorai kegembiraan rakyat, kini diberikan kepada anak laki-laki itu diiringi isak tangis.

Parikshit, maharaja yang baru dinobatkan, menangis ; yah, bahkan Dharmaraja tokoh yang menobatkannya, tidak dapat menghentikan aliran air matanya walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikannya tercabik hatinya oleh kesedihan yang menyiksa. Siapa yang dapat melawan kekuatan takdir? Nasib melangsungkan setiap perbuatan, pada waktu, tempat, dan dengan cara yang sudah ditetapkan. Di hadapan takdir manusia tidak ada artinya; ia tidak berdaya.

Parikshit adalah anak laki-laki yang sopan dan berbudi luhur. Ia memperhatikan kesedihan yang meliputi wajah setiap orang; ia melihat berbagai peristiwa dan kejadian yang berlangsung dalam istana; ia duduk di singgasana karena merasa bahwa ia tidak boleh melanggar perintah para sesepuh; tetapi tiba-tiba ia bersujud di kaki Dharmaraja dan memohon dengan amat mengibakan, “Baginda, kehendak Tuanku akan saya hormati dan saya taati, tetapi mohon janganlah saya ditinggalkan sendirian.” Parikshit tidak melepaskan pegangannya pada kaki Dharmaraja; ia terus menangis dan memohon. Semua yang melihat pemandangan tragis ini ikut menangis; bahkan yang paling tegar hatipun tidak dapat tidak menangis. Peristiwa itu dahsyat, penuh dengan kesedihan yang mendalam.

Parikshit bersujud di kaki kakeknya, Arjuna, dan berseru mengibakan, “Kakek! Bagaimana Kakek dapat pergi dari sini dengan hati yang damai setelah meletakkan beban kerajaan yang berat ini pada kepala saya? Saya adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Saya amat tolol; saya tidak memenuhi syarat; saya tidak memiliki kemampuan. Tidak adil dan tidak pantaslah jika Kakek membebani kepala saya dengan kemaharajaan yang selama ini dipimpin oleh para pahlawan, negarawan, para pejuang perkasa, dan kaum bijak, kemudian Kakek mengundurkan diri ke hutan. Biar orang lain saja yang mengemban tanggung jawab ini; bawalah saya pergi ke hutan juga bersama Kakek,” ia memohon.




  sumber::http://www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar