Rabu, 27 Juni 2012

Tata Cara Mebanten



Hindu Dharma di Nusantara identik dengan mebanten atau persembahan. Misalnya di Pulau Bali, selama ribuan tahun setiap harinya jutaan persembahan yang dihaturkan. Setiap kali kita mendapatkan sesuatu yang baik [habis panen di sawah, sembuh dari sakit, naik gaji, anak tamat sekolah, dll] yang pertama kali dipikirkan adalah berterimakasih dengan menghaturkan persembahan [mebanten]. Demikian juga dalam setiap putaran waktu yang sakral [rainan] kita menghaturkan persembahan.

Dan hal ini bukannya tidak ada efeknya. Bagi orang-orang yang mata bathinnya sudah terbuka, akan bisa melihat vibrasi kosmik kesucian dan kedamaian di Pulau Bali sungguh luar biasa.

-- HAKIKAT MEBANTEN --

Alam semesta berada dalam pengaruh vibrasi energi kosmik yang bersifat tri guna [tiga sifat alam], yaitu : sattvam, rajas dan tamas. Sehingga tidak hanya manusia yang memiliki tingkatan-tingkatan spiritual, tapi alam sekitar lingkungan kita juga. Ketika kita melakukan persembahan, vibrasi sattvam yang muncul dari persembahan mengurai vibrasi unsur rajas-tamas di alam. Meningkatnya vibrasi unsur sattvam di alam memurnikan vibrasi kosmik alam sekitarnya.

Bisa dikatakan bahwa landasan pokok dari mebanten adalah perwujudan rasa terimakasih, rasa hormat dan welas asih, ke semua arah dan ke semua loka [alam semesta]. Karena kita semua adalah jejaring kosmik yang tunggal. Hal ini diwujudkan dalam mebanten atau persembahan, dengan dua unsur pokok yaitu YANTRA dan MANTRA.

Canang sari, segehan, dll, seperti termuat dalam Lontar Yadnya Parakerti, adalah sebentuk YANTRA, yaitu simbol-simbol mistik yang berfungsi sebagai kanal [saluran] penghubung dengan para dewa-dewi dan Brahman. Yantra adalah sebuah tehnologi spiritual. Yantra mewujudkan simbol-simbol suci dari misalnya alam semesta, kesadaran, para dewa-dewi, dll. Simbol-simbol ini dalam banten [seperti halnya yantra], diwujudkan dalam tata letak perpaduan warna, bunga-bunga, biji-bijian dan unsur-unsur lainnya dalam banten.


Yantra ini kita perkuat dengan MANTRA, sehingga menghasilkan vibrasi yang kuat.

Akan tetapi, agar spirit persembahan yang diwariskan para tetua Bali bisa tetap nyambung dengan kita di jaman sekarang, ada beberapa hal yang musti disegarkan dan diingatkan kembali. Karena itu dalam tulisan ini akan dibahas beberapa saran teknis yang menentukan dalam melaksanakan persembahan.


-- BANTEN SEBAGAI YANTRA YANG BERCAHAYA --

Ada tiga hal yang harus diperhatikan :

1. Sumber bahan harus baik.

Banten harus bersumber dari bahan atau uang yang tidak mencuri atau menipu. Banten dari hasil korupsi atau dari hasil menipu, tidak nyambung dan sia-sia. Persembahan yang bersumber dari bahan atau uang seperti itu percuma, sebab vibrasi sattvam [jyoti atau cahaya] dari banten-nya hilang.

2. Proses pembuatan.

Ketika membuat banten, sebisa mungkin kita harus membuatnya dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalaupun banten-nya membeli, membelinya jangan disertai dengan keluhan-keluhan ini-itu [misalnya mahal, canangnya kurang indah, dll]. Sebab hal ini berpengaruh kepada vibrasi banten-nya.

3. Proses menghantar.

Apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan banten, jangan lupa dilaksanakan dengan sejuk, teduh dan penuh kesabaran. Kalau gara-gara mebanten kita bertengkar atau marah-marah, hal ini berakibat tidak baik kepada vibrasi banten-nya. Jangan marah kalau ada yang tidak mebanten atau terlambat mebanten, pokoknya segala-galanya harus dijalankan dengan bathin damai.

Dengan terpenuhinya ketiga kualitas tadi, barulah banten bisa menjadi Yantra yang terang cahaya-nya.



-- PERSEMBAHAN KEPADA TIGA ALAM SEMESTA [BHUR, BVAH, SVAH] --

Keseluruhan alam semesta [langit, matahari, bintang, bulan, bumi manusia, binatang, tetumbuhan, dewa, ashura, bhuta kala, dll], terangkai rapi kedalam jejaring kosmik yang tidak terbatas, yang tidak terpikirkan [Brahman]. Sehingga dalam melaksanakan persembahan, kita juga melakukannya secara lengkap kepada semua, yaitu : Bhur, Bvah, Svah.

Mebanten diawali dengan niat sebagai bhakti [melayani] kepada semua mahluk dan dijalankan dengan mantra guna mengurangi penderitaan semua mahluk. Pancarkan rasa welas asih dan rasa damai akibat persembahan kita ke semua arah. Sehingga semua mahluk dari bhuta kala, manusia, sampai dewa tersenyum menerima vibrasi kedamaian kita.

Semua mahluk ingin bahagia dan tidak mau menderita, sehingga dalam kehidupan ini selayaknya kita banyak-banyak menyayangi dan berhenti menyakiti. Dengan mebanten kita sedang belajar rendah hati, belajar memperkecil ego [ahamkara] yang merupakan sumber kesengsaraan, belajar menumbuhkan welas asih dan kebaikan kepada semua dan dengan mebanten kita sedang belajar terhubung secara kosmik dengan semuanya.

1. Persembahan kepada BHUR LOKA [misalnya : menghaturkan segehan].

Ini adalah persembahan kepada saudara-saudara kita di alam bawah [bhuta kala, ashura, memedi, wong samar, dll]. Dalam hal ini, hendaknya jangan meminta sesuatu apapun kepada mereka. Termasuk jangan minta agar kita tidak diganggu. Tidak boleh sama sekali.

Dalam roda samsara, jiwa-jiwa yang terlahir di bhur loka adalah jiwa-jiwa yang kekotoran bathinnya pekat dan karma buruknya banyak. Pahami mereka sebagai mahluk-mahluk menderita dan bukan mahluk jahat. Mereka sangat memerlukan welas asih dan kebaikan kita. Dan siapa tahu yang kita sebut bhuta kala atau ashura itu, beberapa kelahiran sebelumnya pernah menjadi orang tua kita. Tapi kebetulan karena karena kekotoran bathinnya pekat dan karma buruknya banyak, mereka mengalami kejatuhan dalam roda samsara.

Sehingga kepada saudara-saudara kita di alam bawah, kitalah yang harus memberi. Karena kalau kita minta sesuatu kepada saudara-saudara kita di alam bawah, itu analogi-nya seperti kita jadi orang tua yang meminta-minta uang kepada anak kita yang masih SD.

Yang benar adalah kita yang memberi. Dasarnya adalah welas asih dan kebaikan. Sambil menghaturkan segehan, dengan bathin penuh welas asih kita doakan para mahluk-mahluk alam bawah itu agar mereka bisa memiliki kualitas dewa [bathinnya damai dan bahagia].

Mantranya :

Om svasti svasti sarva bhuta sukha pradhana ya namah svaha 
Om shanti shanti shanti om

"Semoga para bhuta kala bahagia"

Atau mantra yang lebih panjang :

Om Sa Ba Ta A I, Panca Maha Bhutaya namah suaha
Endahta kita watek tiryak, gumatap-gumitip, kumratap-kumritip, muah sarwa prani, sarwa mletik
Ingsun ki manusa anyupat papanta, tinebusan déning mertha, muah anebusaken dosan ingsun amati-mati
Riwekasan yan Sira manumadi, menadi Sira manusa mautama
Ong sah wésat namah suaha
Om shanti shanti shanti om


"Kami memohon bimbingan dan perlindungan Sa Ba Ta A I [aksara simbol Hyang Acintya] dan Sang Hyang Panca Maha Bhuta [lima unsur dasar pembentuk alam semesta]
Semoga berbahagia mereka para binatang, semua yang bergerak, kumratap-kumritip [semua mahluk : dari amuba, semut hingga monster] dan segala yang hidup, segala yang tumbuh
Aku manusia akan menyupat [melakukan pembersihan spiritual] dirimu, mengubahnya menjadi kebajikan dan menebuskan segala kesalahan
Suatu saat apabila kau dapat terlahir kembali, semoga kau menjadi manusia yang utama [manusia dengan kesadaran sempurna]
Hyang Acintya, semoga sirna semua dukalara"

Lebih baik lagi kalau sambil menghaturkan segehan, dengan penuh welas asih kita doakan para mahluk-mahluk alam bawah itu agar mereka bisa lahir di alam dewa : "semoga kalian bisa lahir di alam dewa". Begitu mereka jadi dewa, dengan kualitas ke-dewa-an tidak mungkin mereka akan mengganggu kita.

Lalu selalulah tutup dengan mantra paramashanti. Hal ini bukan tanpa dasar. Bayangkan kalau [anggap saja, hanya contoh] setiap orang di Pulau Bali mebanten di sepuluh titik, lalu diseluruh Pulau Bali ada 1/2 juta orang yang mebanten. Berarti hanya dalam satu hari itu saja di Pulau Bali mantra paramashanti diuncar 5 juta kali. Bayangkan kekuatan vibrasi damai mantra ini yang menggetarkan seluruh penjuru pulau.



2. Persembahan kepada BVAH LOKA.

Dalam persembahan kepada Bvah Loka, bukan badan fisik kita yang beraktifitas dalam mebanten, tapi dari dalam bathin kita yang menghaturkan persembahan kepada semua mahluk. Ini melingkupi dua aspek yang keduanya sama pentingnya dalam keseharian :

- Keseimbangan bathin [upeksha].
Wujudnya dalam keseharian adalah : kesabaran, ketenangan, rasa syukur yang mendalam, tidak mengumbar nafsu, dll.

- Menjadikan hidup kita sebagai persembahan [sewaka dharma].
Wujudnya dalam keseharian adalah : kebaikan-kebaikan, pertolongan, welas asih, membahagiakan orang, melayani orang, ketulusan, kejujuran, dll.

Kalau kita belum mampu melakukannya, cukup jangan menyakiti.

3. Persembahan kepada SVAH LOKA [misalnya : menghaturkan canang di padmasana].

Ini adalah persembahan kepada Hyang Acintya, para entitas suci di alam-alam luhur [dewa-dewi, betara-betari, dll] dan keseluruhan alam semesta. Hendaknya kalau bisa sebisa mungkin kurangi minta ini-itu, lebih baik kita yang banyak mengucapkan terimakasih dalam rasa syukur. Karena dengan tidak meminta ini-itu, keinginan lenyap dan lebih mungkin bathin kita menjadi hening. Kehidupan akan berputar tanpa keinginan. Dan kesadaran kita akan mengundang datangnya kesadaran yang terang, baik ke dalam bathin kita sendiri maupun bagi vibrasi kosmik tempat dimana kita berada.

Sambil menghaturkan canang, kita ucapkan mantranya :

Om deva suksma parama acintya ya namah svaha 
Om shanti shanti shanti om

"Terimakasih kepada para dewa dan kepada yang maha tidak terpikirkan"

Lalu selalulah tutup dengan mantra paramashanti. 


-- BALI SHANTI --

Kalau bisa melaksanakan semua hal diatas, bhur bvah svah, secara spiritual hal ini luar biasa terangnya. Bukan saja alam semesta yang dinyalakan terang vibrasi kosmik-nya, tapi juga bathin kita sendiri jadi terang. Bali adalah pulau yang tidak secara fisik saja indah, tapi secara spiritual juga indah. Siapa yang mata bathin-nya sudah terbuka, dia akan bisa melihat indahnya vibrasi kosmik Pulau Bali. Karena antara bhur bvah svah, tercipta jejaring kosmik yang harmonis dan terang benderang.



Aum Shanti shanti shanti aum.

Rumah Dharma – Hindu Indonesia
31 Agustus 2010

sumber ::: http://www.facebook.com/rumahdharma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar