Rabu, 24 Juli 2013

10 hurup suci (Dasa Aksara) sumber alam semesta

OM Swastiastu,

hurup-hurup suci yang merupakaran sumber dari alam semesta termasuk manusia adalah dasaaksara. mungkin sudah banyak yang sering mendengar kata Dasa Aksara ini, berikut ini akan diulas kembali Dasa Aksara tersebut..




Diceritakan dalam setiap tubuh manusia terdapat hurup – urup yang sangat disucikan, diceritakan pula bahwa Dewa - dewa dari hurup suci tersebut bersatu menjadi sang hyang ‘dasa aksara’. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya. Dari sepuluh hurup bersatu menjadi panca brahma(lima hurup suci untuk menciptakan dan menghancurkan), panca brahma menjadi tri aksara(tiga hurup), tri aksara menjadi eka aksara (satu hurup). Ini hurupnya: “OM”. Bila sudah hafal dengan pengucapan hurup suci tersebut agar selalu di ingat dan diresapi, karena ini merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak di dalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung).


Begini caranya menyatukan ataupun menempatkan sang hyang dasa aksara dalam badan ini. Yang pertama sang hyang sandhi reka yang terletak dalam badan kita ini. Beliau bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi sang hyang eka jala resi. Sang hyang eka jala rsi beryoga muncul sang hyang ketu dan sang hyang rau.

Sang hyang rau menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat (jahat yang sangat banyak, sedangkan sang hyang ketu menciptakan tiga aksara yang sangat berguna, diantaranya wreasta (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, ma, ga, ba, nga, pa, ja, ya, nya), beserta swalalita dan modre. Sehingga jumlah hurupnya adalah dua puluh hurup.
Aksara modre bersatu dengan sembilan hurup wreasta yaitu dari ha –wa, yang kemudian disebut dasa sita.
Aksara swalelita, bersatu dengan sembilan hurup wreasta lainnya yaitu dari la – nya, yang kemudian disebut ‘dasa sila’ dan ‘dasa bayu’.
Bertemu ketiga induk dari aksara suci tersebut; dasa sita, dasa sila, dasa bayu menjadi ‘dasa aksara’.

Minggu, 21 Juli 2013

Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah



A ji Wegig berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari masyarakat Bali.

Ilmu Hitam yang di kenal dengan istilah "Pengeleakan" di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala manifestasinya dalam fungsinya untuk memprelina (memusnahkan ) manusia di muka bumi.

Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah Di Bali Ilmu tersebut dikenal masyarakat luas sejak dulu, ilmu ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif singkat.

Ilmu Leak dapat juga menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.

Dalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati.

Demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau Ilmu Putih.

Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain.

Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa".
Ngiwa asal katanya kiwa (Bahasa Bali) artinya kiri.
Ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri.

Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian Ilmu Hitam.

Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran panjang 30 cm dan lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang sangat sakral.

Pada jaman Raja Airlangga yang berkuasa di Kerajaan Kediri yaitu pada abad ke-14 ada seorang Ibu yang menguasai Ilmu Pengleakan yang bernama Ibu Calonarang. Pada waktu Ibu Calonarang masih hidup pernah menulis buku lontar Ilmu Pengleakan empat buah yaitu :

Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas, Lontar Jung Biru.

Calonarang adalah nama julukan seorang perempuan yang bernama Dayu Datu dari Desa Girah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kediri.

Calonarang berstatus Janda sehingga sering disebut Rangda Nateng Girah yaitu Rangda artinya Janda atau dalam bahasa Bali disebut balu, Nateng artinya Raja (Penguasa). Girah adalah nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda Nateng Girah’’ artinya Janda Penguasa desa Girah.

Calonarang adalah Ratu Leak yang sangat sakti, pada jaman itu bisa membuat wilayah Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat, yaitu pada wilayah pesisir termasuk wilayah desa Girah.

Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :

Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu).

Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain : Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.

Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :

1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih, kambing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.

2. Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa, matanya bisa keluar api, juga bisa berubah wujud menjadi Jaka Tungul atau pohon enau tanpa daun yang batangnya bisa mengeluarkan api dan bau busuk yang beracun.

3. Ilmu Leak Tingkat Tinggi yaitu orang yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat dua puluh satu atau tumpang selikur dalam bahasa Bali dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.

Ibu Calonarang Terhina

Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.

Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.


Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat Kerajaan Kediri.

Kamis, 11 Juli 2013

Delapan Macam Karma / ASTA KARMA-PARINAMA



ASTA KARMA-PARINAMA

Secara garis besar ada delapan macam bentuk-bentuk karma dilihat dari sudut pandang akibat yang dihasilkannya, yaitu : 

1. Mohaniya Karma [karma yang mengaburkan kesadaran atma jnana] 

Karma ini akan mengaburkan kesadaran kita atau menghambat peningkatan kualitas kesadaran kita. Menjauhkan kita dari kesadaran akan realitas diri yang sejati [atma jnana].

Karma ini terbentuk melalui cara-cara seperti misalnya berikut ini :

- Terlalu banyak marah, terlalu sering membenci, melakukan penipuan, melakukan pemerasan, serakah, berperilaku kasar dan buruk, suka menyakiti, perselingkuhan dalam bentuk hubungan badan, pelecehan seksual, pemerkosaan, menggunakan narkoba, dsb-nya.
- Dengan terlalu larut dalam kenikmatan indriya-indriya yang bersifat duniawi.
- Dengan mencela, melecehkan, menyalahkan, menghina atau menunjukkan kebencian kepada orang-orang suci [yang asli], serta kepada figur-figur suci seperti dewa-dewi.
- Dengan menimbulkan halangan, kesulitan atau hambatan pada praktek-praktek religius.
- Dengan memanfaatkan ajaran-ajaran religius sebagai topeng untuk mewujudkan keinginan dan kepentingan pribadi, serta mengambil keuntungan dari situ.
- Dengan fanatisme beragama [tidak atau kurang toleran kepada keragaman religius].
- Dengan membenturkan satu ajaran agama dengan ajaran agama lainnya dengan tujuan konversi agama.
- Dengan melestarikan atau mengembangkan dan menyebarkan ajaran-ajaran religius salah dan palsu yang menjerumuskan orang ke dalam pandangan salah atau menyebarkan ajaran-ajaran religius disertai dengan kebohongan-kebohongan.
- Dengan tidak mempraktekkan ajaran-ajaran religius yang universal.

Karmaphala atau buah karma dari darsanavarniya karma akan membuat kita sulit untuk sadar dari jalan yang adharma, membuat kita sulit untuk meninggalkan cara-cara dan jalan hidup yang salah. Ini sebabnya ada sebagian orang yang lebih tertarik judi, korupsi atau selingkuh dibandingkan belajar dharma dan belajar meditasi. Ada orang yang lebih tertarik pergi dugem atau ke kafe dibandingkan pergi sembahyang ke pura-pura. Kalaupun dia pergi ke pura yang dia pikirkan adalah hal-hal keduniawian. Dsb-nya.

Efek lain dari karma ini adalah menyebabkan seseorang mengalami ilusi religius, sangat yakin dirinya melakukan hal yang baik, benar dan suci, padahal sesungguhnya yang dilakukannya adalah hal yang salah, menciptakan belenggu bagi banyak orang atau malah sebuah kejahatan. Misalnya dalam contoh yang paling ekstrim : rajin sembahyang, taat beragama, siap membela Tuhan dan bahkan melakukan pembunuhan, teror dan perang demi membela Tuhan. Atau mungkin yang terjadi sebaliknya, karma ini dapat menyebabkan seseorang merasa dirinya melakukan hal yang salah dan tidak baik, padahal sesungguhnya yang dilakukannya adalah sebuah jalan dharma yang membebaskan dirinya sendiri dan orang lain.

Beberapa contoh dari mohaniya karma, misalnya :

- Mithyatva karma : ini membuat seseorang tidak percaya dengan ajaran religius yang asli. Kalaupun dia berjodoh dengan sebuah ajaran religius, dia akan berjodoh dengan ajaran religius yang palsu. Dia akan percaya dan mengikuti guru atau pemimpin spiritual yang palsu serta sangat meyakini kebenaran ajaran yang salah tersebut.
- Samyagmithyatva karma : ini membuat seseorang memiliki dan mengikuti keyakinan campur-campur antara ajaran yang asli dan palsu. Atau tenggelam dalam kebingungan dan konflik pilihan.
- Samyaktva karma : ini membuat seseorang benar-benar berjodoh, tersambung [paham] dan mengikuti ajaran religius yang asli. Bebas dari racun ajaran dan pandangan yang salah.

Prana, Chakra dan Kundalini

Om Namah Shivaya.

Alam semesta ini tercipta karena interaksi dari Purusha dan Prakriti. Purusha adalah kesadaran murni yang mutlak, tanpa sifat, tidak dapat dijelaskan. Sedangkan Prakriti dalam bahasa manusia yang paling mendekati adalah energi.

Seluruh fenomena dan dimensi alam semesta pada pokok dasarnya adalah energi. Samudera energi yang maha luas dimana energi menjadi materi dan materi menjadi energi, sebagaimana dijelaskan di dalam Veda : “Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” [ Rig Veda 2.72.4 ], artinya : dari aditi [materi] asalnya daksa [energi] dan dari daksa asalnya aditi. Ini teori yang sama dengan teori E=mc2 yang ditulis oleh Einstein.


Pranamaya Kosha

Dalam tubuh kita manusia terdapat lapisan badan yang disebut Pranamaya Kosha.

Pranamaya kosha adalah lapisan badan yang terbentuk dari energi prana, energi yang memberikan gerak kehidupan kepada badan fisik kita. Alam semesta ini diselimuti oleh samudera besar energi pemberi kehidupan yang disebut energi prana. Setiap organisme, mulai yang terkecil [mikroba] s/d yang terbesar, saat punarbhawa [kelahiran kembali], menarik ke dalam dirinya sendiri energi prana dari samudera energi prana alam semesta ini. Kekuatan hidup [prana] yang terdapat di dalam diri kita sebagai lapisan badan inilah yang disebut dengan pranamaya kosha.

Wujud dari pranamaya kosha adalah kemilau warna keemasan. Saat kematian datang, lapisan badan ini dengan sendirinya akan keluar dari badan dan kembali kepada samudera energi prana alam semesta.

Di dalam lapisan badan pranamaya kosha kita [tidak bisa kita lihat dengan mata biasa] terdapat jutaan dan jutaan noktah-noktah kecil [laksana debu] energi prana atau energi kehidupan yang berputar dan berpusat pada apa yang disebut sebagai chakra. Chakra dalam bahasa sansekerta berarti roda berputar, karena energi ini berputar searah jarum jam. Melalui jejaring saluran-saluran energi prana yang disebut nadi, setiap chakra ini terhubung satu sama lain dan mempengaruhi seluruh lapisan-lapisan tubuh kita.

Terkait jejaring energi prana dalam pranamaya kosha, ada hal-hal mendasar yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu :

Nadi adalah jejaring saluran-saluran energi prana. Jumlahnya ada 72.000 nadi. Seluruh nadi bermula dari kanda, daerah diatas chakra muladhara. Diantaranya terdapat 14 nadi yang penting, tapi yang terpenting ada 3 yaitu Ida, Pingala dan Sushumna. Ida adalah saluran kiri, energi feminim yang dingin. Pingala adalah saluran kanan, saluran maskulin yang panas. Sushumna adalah saluran tengah.

Chakra adalah titik pusat-pusat energi prana yang berada sepanjang shusumna [letaknya pada poros tulang belakang]. Dalam lapisan tubuh prana kita terdapat ribuan chakra mikro, 114 chakra kecil dan 7 chakra utama yang terpenting. Ke-tujuh chakra ini masing-masing terkait erat dengan pikiran, emosi, kesehatan dan dinamika perilaku kita dalam kehidupan ini.

Granthi adalah tiga simpul energi penghalang yang terletak di sepanjang sushumna, yaitu : Brahma Granthi, Vishnu Granthi dan Rudra Granthi.

Kundalini adalah api energi berupa gulungan yang terletak pada chakra muladhara [chakra dasar], pada titik antara kemaluan dan anus.

 
Tiga nadi dan tujuh chakra utama

Ada ribuan chakra di dalam lapisan badan pranamaya kosha kita, akan tetapi yang disebut sebagai chakra utama ada tujuh. Masing-masing chakra ini berbentuk seperti bunga teratai dengan warna-warni yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi dan efek masing-masing. Ketujuh chakra tersebut adalah :

Manushya

Kehidupan kita sebagai mahluk

Pengalaman kita manusia sebagai mahluk disebabkan oleh belenggu prakriti, sehingga kita manusia “tidak sadar" atau tenggelam dalam ketidaktahuan [avidya]. Yang dimaksud dengan avidya adalah kita salah paham akan realitas diri yang sejati. Kita mengidentikkan diri sebagai “aku” atau seorang manusia, mengidentikkan diri sebagai sebagai pikiran dan perasaan kita, serta mengidentikkan diri sebagai sebagai badan fisik ini. Padahal sesungguhnya semua itu hanyalah bagian dari dinamika prakriti [seluruh fenomena dan dimensi alam semesta yang pada pokok dasarnya adalah energi].

Prakriti sebagai lapisan-lapisan badan yang membungkus kesadaran murni [purusha] membentuk dua type badan, yaitu : badan fisik dan badan pikiran. Badan fisik mudah kita ketahui. Tapi badan-badan pikiran kita berada pada alam yang lebih halus, tidak bisa kita lihat dan rasakan dengan indriya badan fisik kita, sehingga kita tidak memperhatikannya.

Termuat dalam Taittriya Upanishad, ada lima jenis bahan atau energi pembentuk yang membentuk lapisan-lapisan badan kita sebagai manusia, yang disebut dengan panca maya kosha, yaitu :


Susunan panca maya kosha

1. Annamaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi sari-sari makanan.
2. Pranamaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi prana, yaitu samudera besar energi pembentuk kehidupan yang ada di semua penjuru alam semesta.
3. Manomaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi pikiran biasa.
4. Vijnanamaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi pikiran yang halus dan sadar.
5. Anandamaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi alam semesta yang transenden.

Brahmande api asti yat kincit tat pinde asti sarvatho, apa yang ada di dalam semesta [bhuana agung] juga ada dalam diri kita [bhuana alit]. Sehingga sesungguhnya diri kita ini sangat kompleks, tidak sesederhana apa yang hanya bisa dilihat oleh mata biasa. Kosha dalam bahasa sansekerta berarti "lapisan". Sarira atau sharira dalam bahasa sansekerta berarti : "sesuatu yang gampang terurai” atau “sesuatu yang mudah lenyap” atau “sesuatu yang sifatnya sementara / tidak abadi".

Manusia terdiri dari lima lapisan badan [kosha atau sarira] disertai beberapa sub-lapisan badan yang menyelubungi purusha [kesadaran murni]. Lapisan-lapisan badan kita ini secara fisik tidak merupakan satu kesatuan, tapi saling terkait kuat dan terkunci dalam lapisan-lapisan, yang kalau diibaratkan persis seperti lapisan-lapisan bawang. Masing-masing bekerja dan berfungsi secara bersama-sama dalam kesadaran kita sehari-hari. Lapisan-lapisan badan ini adalah bagian dari manifestasi prakriti yang terkait dengan pengalaman subyektif kita sebagai mahluk atau sebagai "aku". Lapisan-lapisan badan ini adalah sebagai berikut :

Kamis, 04 Juli 2013

Sat = Yang tak berwujud




Sat = Yang tak berwujud

Untuk memudahkan manusia menuju Sat, maka dimunculkanlah Ong Kara. Dari Ong Kara muncullah Dwi Aksara yaitu Ang dan Ah. Dwi Aksara juga adalah perlambang Rwabhineda (Dualitas), Ang adalah Purusa (Bapa Akasha) dan Ah adalah Prakerti (Ibu Prtivi).

Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)

Pada tahapan berikutnya, dari Tri Aksara muncullah Panca Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, dan ING. Dari Panca Aksara kemudian muncullah Dasa Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, dan YANG.

Pada arah mata angin, Dasa Aksara terletak berurutan dari Timur = SANG, Selatan = BANG, Barat = TANG, Utara = ANG, dan tengah-tengah/poros/pusat = ING, kemudian Tenggara = Nang, Barat Daya = Mang, Barat Laut = SING, Timur Laut = WANG dan tengah-tengah/poros/pusat = YANG. Ada dua aksara yang menumpuk di tengah-tengah, yaitu ING dan YANG. (Apakah ini asal muasal YING dan YANG?)

Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan Rwabhineda (Dualitas), (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili Purusa/Bapa Akasha/Maskulin/Al/El/God/Phallus. Sedangkan (-) dan segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili Prakerti/Ibu Prtivi/Feminim/Aloah/Eloah/Goddess/Uterus.

Hanya dengan melampaui Rwabhineda (dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh/keuTUHAN, maka pintu gerbang menuju Sat akan ditemukan. KeuTUHAN disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya. Inilah BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANNA DHARMA MANGRWA.

Memang pemahaman ini masih sulit diterima oleh mereka yang terjebak dalam dogma dan doktrin agama masing-masing. Pemahaman ini memang diperuntukkan bagi mereka yang akan dan sedang menapaki jalan spiritual. Dan bagi mereka yang telah melampaui jalan spiritualitas silahkan digunakan seperlunya.

Damai dan Cinta Kasih untuk semua... _/\_

Ah... Ang... Ong _/\_